Rabu (16/05) pukul
11.00 di SMA Santa Maria Yogyakarta di gelar doa bersama untuk Femi, wartawan Bloomberg
yang menjadi salah satu korban jatuhnya pesawat Sukhoi Superjet 100.
Sebenarnya saya tak
mengenal siapa Femi. Wajahnya pun saya belum pernah lihat. Saya hanya di culik
teman saya yang ternyata teman activist 98-nya Femi.
“Besok kalo kamu ga ada acara aku minta di
temenin ke sekolah Santa Maria. Ada doa untuk temenku Femi”
“Femi
korban Sukhoi?”
“Iya”
Itulah awal “perkenalan”
saya dengan seorang perempuan tangguh bernama lengkap Femi Adiningsih Soempeno.
Tepat pukul 11.00
kami sampai di pelataran SMA Santa Maria ini. kami langsung menuju gedung aula
tempat dimana doa bersama ini di gelar. Di ujung pintu masuk, siswa-siswa yang
bertugas menjadi among tamu berdiri berjejer. Seperti tamu-tamu yang lain, saya
di minta untuk menuliskan pesan dan kesan untuk Femi. Jujur saja saya bingung
mau nulis apa, lha wong saya ga kenal. Akhirnya jemari menuntun pena menuliskan
“ Rest in peace, Femi.. J”
dan langsung saya tempel di papan hitam di samping meja tamu.
Sebelum masuk gedung
aula, sebuah pita hitam ditempelkan di dada kiri para tamu termasuk saya
sebagai tanda berkabung.
Ternyata gedung uula
sudah di penuhi para tamu. Mendominasi barisan, siswa SMA Santa Maria beserta
guru dan staf. Sisanya beberapa kawan seangkatannya saat masih sekolah di
Vanlith, Steladuce, Santa Maria dan Atmajaya. Saya dan teman saya pun langsung
beringsut ke barisan paling belakang.
Saat saya masuk, doa sedang
di pimpin oleh seorang Suster. Suasana duka memayungi langit-langit gedung aula
Santa Maria siang itu. Di depan altar kecil, saya lihat foto Femi yang memakai
kupluk merah tersenyum manis. Di bagian kanan dan kiri terdapat rangkaian bunga
putih dan puluhan lilin. Sendu.
Suasana
Aula semakin haru ketika si Pemimpin doa meminta kepada beberapa orang guru dan
sahabatnya untuk bercerita di muka tentang sosok Femi. Bulu kuduk pun berdiri
saat Rosa, sahabatnya 1 angkatannya menceritakan seperti apa sosok Femi ini. "Femi
sangat istimewa, kami sangat kehilangan dia. Apapun yang terjadi padanya saat
ini, kami harap Tuhan tahu yang terbaik untuknya,"
Dari cerita beberapa guru dan teman, saya bisa menyimpulkan bahwa
Femi memang istimewa. Bukan hanya pribadinya, tapi juga otaknya. Semasa sekolah
Femi tak pernah memilih-milih teman. Dia berteman dengan semua teman di
sekolahnya. Bukan hanya itu, saat kerusuhan 98, dia menjadi salah satu aktivis
pelajar Jogja. Pekerjaannya? ya Demo! Bahkan kerap dia bolos sekolah karena ikut turun dijalan untuk
demo. Sampai-sampai mendapat teguran dari sang wali kelas.
Mendadak
saya menjadi kagum dengan sosok yang belum pernah saya kenal ini saat panitia
memutarkan slide foto-foto nya. Dari situ saya bisa merasakan aura petualang
yang kental di setiap kegiatan Femi. Wajah ceria dan mata yang tajam, seakan ingin
mengatakan bahwa Femi memang bukan perempuan biasa, dia luar biasa.
Saya
yakin, sebagian besar yang ada dalam gedung aula ini juga tak mengenal langsung
pribadi Femi. Tapi doa demi doa terus mengalir untuk perempuan tangguh ini.
Sang petualang telah kembali,
tapi semangatnya tak kan pernah mati..
Selamat jalan Femi…J
18/05/2012
18.21