Monday, January 10, 2011

Amin dan Pengharapannya


Kami memanggilnya Amin. Entah siapa nama panjangnya. Entah pula berapa umurnya. Ketika saya menanyakan kepadanya dia sendiri pun tak tahu. Pertama kali saya bertemu dengan anak kecil ini dia memakai kaos merahnya yang lusuh dan bau keringatnya sangta menyengat. Itulah Amin. Nama yang penuh dengan pengaharapan. Harapan yang tak pernah muluk-muluk dan memang harapan amin.

Menurut perkiraan saya, umurnya kurang lebih 9 sampai 10 tahun. Kulitnya hitam legam, rambutnya yang hitam memerah selalu terlihat acak-acakan dan bau sisa matahari tadi siang. Dia pernah sekolah, hanya sampai kelas 1 lalu keluar dan sampai sekarang dia tak lagi melanjutkan. Alasan klasik lah yang dia lontarkan ketika saya menanyakan kenapa ga sekolah. “ga punya duit, mbak” itulah jawabannya. Ya, meskipun sekarang pemerintah telah membuat program sekolah gratis untuk SD-SMP, tapi masalahnya tidak sesepele itu. Jika mereka sekolah, mereka butuh uang untuk membeli “ubo rampe” nya.  Dan itu tidak sedikit rupiah akan dikeluarkan.

Ditempat ia tinggal, disitulah saya belajar bersama sahabat-sahabat kecil saya. Tidak sedikit dari mereka mempunyai nasib yang sama dengan Amin. Putus sekolah dan harus turun kejalanan demi sesuap nasi. Yang sedikit beruntung, mereka masih bisa merasakan bangku sekolah meski sorenya mereka harus turun kejalanan juga untuk sesuap nasi. Ia tinggal bersama kedua orang tuanya dan 4 saudara kandungnya di rumah kontakan yang hanya berukuran 4x4m.

Meski sekarang Amin tak lagi sekolah, tapi antusias nya untuk tetap belajar masih tinggi. Beberapa kali saya menemani ia belajar, selalu dia dulu yang meminta untuk diajari tambah-tambahan (matematika). Saya tau umur dan kemampuannya menghitung sangat tidak sepadan. Diumurnya yang mungkin sekitar 10-11 tahunan itu harusnya dia sudah mulai mengitung persen-persenan atau mungkin yang lebih kompleks lagi. Bahkan ketika dia harus belajar 1 meja dengan kedua adiknya, itupun tak membuatnya malu atau malas. Tampak jelas bahwa dia tak mempedulikan itu semua. Yang dia mau hanya dia bisa berhitung. Meski masih terbata-bata menghitung deretan angka, tapi wajahnya yang penuh dengan pengaharapan itu tetap berusaha keras dan yakin bahwa dia pasti mampu menyelesaikan.

Pernah suatu kali saya ngobrol 4 mata dengan Amin.
“Min, kamu kemana aja seharian ini?” Tanya ku mengawali pembicaraan.
“Ya kerja mbak”
“kerja apa emang?”
“ya ngemis…”
Jawabannya sungguh membuat dadaku terasa sesak.
“emang mau buat apa sih uangnya?”
“ya buat makan,,,oya, aku tu pengen beli sepeda mbak. Aku pengen sepedaan sama temen-temenku…” wajahnya tampak ringan ketika membayangkan dia bisa bersepeda dengna kawan-kawannya. Tidak banyak kata yang bisa saya uncapkan setelah itu. Aku terpaku menatap wajahnya yang dihitamkan oleh matahari siang, debu kota, asap kendaraan yang memenuhi kota yang kecil ini. Wajah mungil yang seharusnya masih menikmati belaian manja orang tua bukan belaian sang jalan, wajah yang harusnya masih segar dan bukan lusuh oleh mentari dan debu kota.

Oalah Min.. min.. betapa kerasnya jalan yang harus kamu tempuh. Hanya demi sesuap nasi dan sepeda saja kamu harus berjuang sendiri. Miris ketika saya melihat anak seumurannya yang ketika pengen sesuatu hanya tinggal bilang orang tua nya dengan sedikit mendesak dan ngambek agar dibelikan.
Harapanmu takkan pernah luntur oleh panasnya matahari dan derasnya hujan, Min. ya, kamu lah amin dan pengaharapannya.

Finished on Wednesday
04/01/2011
Inspirited by my little fellow, Amin/ Fajar.

1 comment:

  1. Wah, disentil dikit tuh cara pikirnya.
    Means : ngumpulin duit buat beli sepeda.
    :p

    ReplyDelete