Monday, January 30, 2012

Perjalanan "1 Buku untuk Indonesia" Menuju Manusela



Hari itu masih sangat pagi untuk mengawali hari. 12 Januari 2011 tepat pukul 07.00 WIT, saya dan Dharma, akhirnya menginjakkan kaki untuk kedua kalinya di Bumi Pattimura. Kali ini kami berangkat dengan misi berbeda dengan yang pertama kali. Kalau dulu kami datang untuk eksplorasi pariwisata Maluku di bawah naungan program Aku Cinta Indonesia Detikcom. Kali ini, kami membawa seribu buku dari komunitas kami 1 Buku untuk Indonesia untuk siswa SD YPPK Manusela dan SD Negri Maraina di Seram Utara. Kami pun tak di temani Brama, travel mate ACI, karena pekerjaannya yang tak bisa di tinggalkan.

Kedatangan kami pun di sambut dengan hangat oleh teman kami yang ada di Ambon, Iphank dan Ulhaq. Kami pun segera meluncur ke rumah Iphank yang berada di Kebun Cengkeh dengan motor. Tak lama, kami sampai di rumah Iphank dan segera istirahat, mandi dan sarapan.

Setelah itu, kami pun segera berangkat ke kota untuk bertemu dengan Wakil Gubernur Provinsi Maluku Tengah di temani sahabat kami Iphank. Ya, kabar pengiriman buku untuk Seram ini ternyata sudah sampai di telinga beliau. Beliau pun akhirnya mengundang kami untuk bertemu dan sekedar berbincang tentang program 1 Buku ini di kantornya yang berada di pusat kota Ambon. Singkat kata, kami berbincang-bincang tentang program kami ini. dan tanggapan beliau memang sangat positif. Beliau pun menjanjikan bantuan transportasi dan menyarankan kami untuk datang ke dinas pendidikan kecamatan Masohi.

Selesai bertemu dengan Wakil Gubernur, kami pun segera meluncur ke kodam pattimura  yang bersebrangan dengan gedung gubernur Maluku. Kami berjanjian dengan Pak Riko, kaspri pangdam. Tak lama kami pun bertemu dengan pak riko. Beliau pun membawa kami ke mess yang di janjikan dari pangdam untuk tim 1 Buku. Di bayangan saya, mess yang mereka kasih ke kita adalah barak tentara. Tapi ternyata bukan! mess itu hampir seperti sebuah wisma. Dan kami mendapat 2 kamar. 1 untuk saya,  1 untuk Dharma. kami pun istirahat sambil menunggu jam 3 untuk bertemu dengan pangdam pattimura.

Jam 3 WIT. Kami pun meluncur ke kodam yang ada di belakang mess kami. Setelah melapor ke provos untuk bertemu dengan pangdam, kami pun di antar ke ruangan pangdam Pattimura yang ada di lantai 2. Tanpa ribet ini itu, kami pun di persilahkan bertemu pangdam. Hampir sama waktu bertemu dengan Wagub Maluku. Kami pun mendapat sambutan yang hangat dari pangdam yang ternyata orang Jawa Timur ini. Setelah beerkenalan dan basa-basi ini itu, kami pun tenggelam dalam obrolan tentang program 1 Buku untuk Indonesia. Tanggapan pangdam? Sangat mendukung program kami! Bahkan pangdam sendiri bersedia membantu transportasi kami dari ambon hingga mosso dan PP. woooowww…  Setelah itu beliau pun menawarkan diri untuk mengirim 2 anggota nya untuk bergabung di program pengiriman buku ini. kami pun menerima tawaran itu dengan sangat senang hati. Setelah di rasa cukup, kami pun pamitan dan tak lupa berfoto dengan pangdam dan aster agus. Begitu keluar dari ruangan pangdam, saya dan Dharma, Cuma senyum-senyum senang. Ga kebayang juga kita akan mendapat fasilitas se oke ini. karena waktu awal, saya sendiri sempeeet bingung. Kalau ketemu dengan pangdam kira-kira mo ngapain yak?hehe. dan ternyata, memang Rejeki anak-anak manusela dan maraina batin saya.
 well, transportasi udah clear! kami kembali ke mess. Saatnya membuat daftar logistik perjalanan. Di bantu pak Dullah dan teman baru kami, Bang Budi Kanal, kami pun tenggelam dalam negosiasi daftar belanjaan logistik sampai akhirnya kami menyelesaikan nya dalam hitungan jam. Sampai akhirnya ada telfon yang masuk ke Iphank dari diknas Maluku tengah. Rupanya Wakil Gubernur memberi kabar kedatangan tim 1 buku ke diknas mal-teng dan beliau mengundang kami untuk datang ke kantor diknas keesokan hari nya.

Hari kedua kami berada di Ambon, kami awali dengan mendatangi kantor Kabag Diknas Maluku Tengah yang tak jauh juga dari mess kami. Sekitar 15 menit kami menunggu di luar karena rupanya saat kami datang, pak Abdul Kadir yang menjabat menjadi kabag diknas itu sedang ada tamu. Tepat 15 menit, kami pun di persilahkan masuk ke ruangannya. Sama seperti saat bertemu dengan wagub dan pangdam. Kami mengenalkan diri kami dan program 1 Buku unutk Indonesia. beberapa pertanyaan beliau lontarkan mengenai program kami ini. Dan lagi-lagi, kami mendapat dukungan untuk operasional perjalanan 1 Buku. Beliau pun menitipkan donasi sejumlah uang dari diknas mal-teng. Wooow… it’s amazing!!! Sejumlah uang yang tak kami lumayan besar kami dapat. Selesai pamitan dan foto, kami meninggalkan ruangan Pak Abdul Kadir. Sesampainya di luar, saya dan Dharma pun langsung Toss dan tertawa puas! Gilak… kami ga membayangkan akan mendapat bantuan dari banyak orang di kota yang terkenal dengan rempah-rempahnya ini.

Siangnya, kami pun berbelanja kebutuhan logistic di temani Pak Dullah dan Bang Budi berbekal catatan daftar belanjaan yang sudah kami buat kemarin. 1 troli kami penuhi dengan belanjaan mulai dari beras hingga yang kecil-kecil. Selesai membayar, Dharma rupanya janjian dengan kawannya, Berry, yang bekerja di BKN Ambon. Ternyata, Berry tertarik juga dengan kegiatan kami. Dia mengumpulkan donasi dari teman-teman sekantornya berbekal foto-foto yang Dharma bawa untuk Manusela. Dan siang itu, Berry menyerahkan hasil donasi teman-temannya kepada saya. Yuhuuuuuuu… benar-benar di luar dugaan saya dan Dharma! Tuhan memang sangat baik… selalu saja menghadirkan orang-orang baik di sekitar kami.

Karena mendapat sokongan dana lagi, kami pun memutuskan untuk menambah buku dan media pembelajaran untuk  Manusela dan Maraina. Segera kami meluncur ke pasar dan membeli beberapa alat tulis dan buku.
Hari ketiga. 14 Januari 2012. Pukul 7.30 WIT kami pun bersiap dan segera meluncur ke pelabuhan Tulehu dengan diantar sebuah bus dari kodam Pattimura. Bersama kami, ada 2 anggota kodam yang diturunkan untuk ikut kegiatan kami, Pak Dullah dan Pak Leirisa, dan 3 anggota kodam pattimura juga yang mengantar kami hingga pelabuhan. Sesampainya di pelabuhan, barang-barang pun kami turunkan dan segera kami masukkkan ke kapal cepat cantika Terpedo. Setelah selesai sarapan, kami segera berpamitan dengan 3 anggota kodam yang mengantar kami dan segera masuk ke kapal cepat. Suguhan lagu-lagu Maluku yang di nyanyikan oleh 1 keluarga berkewarganegaraan Belanda menghibur kami semua yang ada di kapal cepat itu. Tak terasa, 1,5 jam sudah kami berada di kapal. Sampai lah kami di pelabuhan Amahay. Setelah berhasil merapat, kami pun segera beranjak keluar. Sedangkan barang-barang yang kami bawa kami percayakan ke kuli panggul pelabuhan.

Diluar, Dandim Masohi dan beberapa anggotanya sudah menunggu kedatangan kami. Segera kami memasukkan barang-barang ke dalam mobil militer yang berwarna hijau army itu. Dandim yang rupanya orang Karanganyar Jawa Tengah itu menyambut kami. Tak lama, kami segera meluncur ke pelabuhan Tehoru. Sebelumnya, kami berhenti di Masohi untuk melengkapi beberapa belanjaan yang masih kurang. Sekitar pukul 13.00 WIT kami selesai berbelanja dan kembali meluncur ke pelabuhan terakhir, Tehoru. Sekitar 3 jam kami habiskan di atas roda mobil hijau army itu. Sampai lah kami di Pelabuhan Tehoru. Pelabuhan terakhir sebelum kami menyebrang ke Desa Mosso. Disana, kami pun bertemu dengan Danramil Tehoru. Beliau pun menyambut kami dengan tak kalah hangatnya.
Karena angin sangat kencang dan gelombang lumayan besar, Danramil pun tidak mengijin kan kami untuk menyebrang dengan ketingting (perahu kecil). Beliau pun menyarankan untuk menggunakan kapal Speed. Dan benar saja, tak berapa lama kamii menuggu, sudah ada kapal speed yang bersandar di bibir pantai Tehoru dan siap mengantarkan kami. Kami pun segera memindahkan barang-barang kami dari mobil TNI ke kapal speed di bantu anak-anak Tehoru yang sedang bermain bola. Keluarga koramil Tehoru dan beberapa anak-anak melepas kami. Sungguh, kami sangat beruntung! Banyak sekali tangan-tangan yang menyambut kedatangan kami saat itu.

Di kapal pun saya segera naik ke atap kapal yang berwarna biru putih tersebut. Menikmati angin dan gelombang laut yang lumayan besar. Beberapa kali mesin kapal mati. Hidup lagi. Mati lagi. Hingga akhirnya sebanyak 15 kali mesin kapal mati ditengah laut. Tapi berkat nahkoda kami yang cekatan, kami pun bisa bersandar di bibir pantai Mosso setelah 1,5 jam mengarungi lautan di bawah payung mendung.

Di bibir pantai, warga desa Mosso sudah menyambut kami. Mereka pun membantu kami menurunkan barang-barang dari atas kapal ke daratan dan segera membawanya ke rumah pak Dullah yang hanya berjarak sekitar 50 meter dari bibir laut. Bapa Raja yang juga ayah dari pak Dullah menyambut kedatangan kami. Beliau sempat bilang sama saya,

“banyak anak perempuan yang naik ke Binaiya, tapi yang datang untuk kedua kalinya sangat jarang. Dan rosa ternyata datang lagi” saya pun hanya tersenyum.

Untuk saya dan Dharma, warga Mosso memang sudah seperti keluarga kami sendiri. meskipun kami baru pertama datang tapi mereka sangat hangat sekali menyambut kedatangan kami yang kedua ini.

Malamnya, kami packing untuk persiapan trekking esok hari. Semua buku yang ada di kardus kami buka dan pindahkan ke dalam carrier. Dari 10 kardus, akhirnya menjadi 7 carrier. Sedangkan logistik dan camp equipment menjadi 2 carrier. Dan beberapa lagi masuk ke day pack kami.

Sedari awal semua lancar. Tapi yang namanya jalan, ga selamanya mulus. Masalah pun datang. Orang-orang manusela yang kami perkirakan turun dan akan membawa buku-buku tersebut bersama kami pun ternyata tidak ada yang turun. Akhirnya, pak Dullah pun menawarkan kepada kami untuk memakai porter Mosso. Negosiasi jumlah porter pun di mulai. Pak Dullah mengajukan 9 porter termasuk dia. Sedangkan saya hanya meng-ACC 8 saja dengan pertimbangan keuangan. Setelah berdiskusi dengan Dharma dan menghitung keuangan dan dirasa mencukupi, saya pun akhirnya meng-ACC 9 porter. Jumlah logistik pun kami tambah. Sekitar 35 kg beras dan sejumlah bahan pokok lainnya kami bawa untuk persediaan makan kami selama 8 hari.

Hari kelima, 15 Januari 2012. Pukul 08.15 WIT. Kami melepas desa Mosso yang menjadi titik Nol pendakian gunung Binaiya ini dengan iringan doa dari warga Mosso. sebelumnya, pemuka agama setempat mengajak kami untuk berdoa bersama. Sebanyak 13 orang meninggalkan Mosso. Saya, Dharma, 2 Anggota Kodam Pattimura, dan 9 porter Mosso. Perjalanan di mulai. Bismillah…saya yakin, Tuhan bersama orang-orang pemberani ini.

Cuaca cerah, langkah kami pun terus mengayun dan sesekali berhenti untuk mengambil nafas. Selepas ladang desa Mosso, kami pun mulai memasuki kawasan hutan Taman Nasional Manusela yang sangat kaya akan flora dan fauna itu. Sekitar 7 jam kami berjalan, sampai lah kami di dusun pertama, Dusun Sinahari. Dusun yang hanya terdapat 1 rumah yang di huni 4 Kepala Keluarga itu menjadi tempat singgah kami di hari pertama. Desa ini adalah desa adat yang masih menganut animisme. Kami pun segera melepas lelah sambil bertegur sapa dengan warga dusun adat ini. mereka sangat ramah. Waktu kedatangan saya dan Dharma pertama kali, kami tidak bersua. Mereka sedang ke Masohi untuk membeli kebutuhan pokok. Dan syukurlah, hari itu kami bisa bertemu dan menginap di rumah adat yang semua bagian terbuat dari pohon sagu. Menjelang sore, teman-teman bebersih diri di sebuah pancuran yang berada di depan rumah. PR buat saya! Tidak bisa segera mandi karena pancuran tersebut benar-benar di muka rumah dan terbuka. Akhirnya saya pun menahan keinginan saya untuk mandi hingga malam tiba. Di dusun ini tidak ada listrik. Mereka mengandalkan lampu minyak sebagai penerangan. Dan saya pun mandi di antara gelap malam dan cemas takut kalau-kalau ada yang mengintip. Heeheee…

Malam datang dan kami pun beristirahat. Beberapa dari kami menghabiskan malam sambil belajar bahasa tanah, bahasa daerah dusun ini dipandu bapa raja.

Hari ke enam, atau hari kedua perjalanan kami menuju Manusela dan Maraina. Kami memulai perjalanan saat jarum jam menunjukkan pukul 09.00 WIT. Selesai berdoa kami pun mengayun langkah lagi menyusuri hutan tropis manusela ini. medan mulai menanjak. Peluh pun mulai membasahi badan kami. Muka asam mulai terlihat di wajah para porter. Hingga akhirnya setelah 8 jam berjalan, kami pun memasuki Liang Dua atau Liang Silahata pada pukul 16.30 WIT. Oiya, jalur menuju manusela ini memang lumayan ekstrim. Itu kenapa tidak disarankan untuk melakukan perjalanan saat malam hari.

Kami pun bermalam di liang dua. Badan yang lelah, malam yang dingin, menggoda kami untuk menghangatkannya dengan cerita dan guyonan dari para porter dan tim 1 buku. Hingga akhirnya pak Yanto () mengingatkan kami untuk segera tidur karena malam sudah larut. Saat nya istirahat. Tapi, tak ada yang menghiraukan perkataan pak Yanto. Kami terus larut diantara cerita dan guyonan. Sesekali kami tertawa terbahak-bahak. Dan akhirnya kami diam saat alam menggingatkan kami untuk segera beristirahat. Kejadiannya saat tengah malam, saat kami sedang tenggelam diantara tawa, Bang Buce yang tidur di ujung merasakan ada butiran pasir dan kerikil dalam jumlah lumayan yang jatuh dari atas. Spontan Bang Buce langsung bangun. Dan saat itu juga, sebuah batu berukuran kepala orang dewasa jatuh persis di atas matras dan tepatnya di posisi kepala. Entah apa jadinya jika Bang Buce tidak bangun saat ada pasir berguguran dari atas. Kami pun panik. Segera membetulkan posisi tidur dan cemas jika ada batu ke dua ketiga atau bahkan ke empat menimpa kami. Alam berbicara, dan kami pun mengamini. Kami segera tidur. Melepas lelah di pelukan hutan tropis Manusela.

17 Januari 2012 atau hari ke tiga perjalanan tim 1 Buku untuk Indonesia menyusuri hutan Taman Nasional Manusela yang terkenal dengan flora anggrek Manusela dan fauna nya burung nuri. Pukul 09.00 WIT kami meninggalkan liang dua. Medan mulai bervariasi. Tanjakan semakin curam saja. Jalan hanya setapak dan tipis dengan jurang. Hari ketiga itu, kami sudah memasuki jalur air. Harus menyebrang sungai dan menyusuri sungai seki walala. Tapi meski tanjakan semakin curam, harus susur sungai, semangat para kami tak goyah. Justru semakin menggebu dan ingin segera sampai manusela. Ada yang lucu ketika ternyata, para porter tidak hanya memposisikan dirinya sebagai porter yang dibayar untuk membawa buku-buku kami. Tapi tak di sangka, mereka mempunyai tanggung jawab lebih.

Saya salut sama Bu Rosa dan Pak Dhar yang jauh-jauh dari jawa membawa buku untuk anak cucu kami di Manusela. Ini kali pertama ada bantuan semacam ini untuk mereka. Itu membuat kami semakin bersemangat membawa buku-buku ini sampai ke Manusela dan Maraina. Kalian berdua memotivasi kami” ujar Pak Yanto dalam logat Ambon yang sangat kental.

Saya pun tersenyum mendengar ucapan beliau. Tak menyangka bahwa mereka pun akan mempunyai nilai lebih dari perjalanan ini. padahal, sebelum pak Yanto bilang begitu dengan saya, saya sempat secara tidak langsung tersemangati oleh mereka. beban yang berat atau beban abadi, begitu kami menyebut beban buku yang tak berkurang dari hari pertama hingga hari terakhir,tak menyurutkan langkah dan semangat mereka.

Malam ketiga, kami bermalam di walang. Sebuah sheter yang acap kali di jadikan tempat istirahat untuk warga manusela saat perjalanan turun ke mosso atau hatumete.

Hari ke empat. Target kami hari ini sudah bisa masuk ke Manusela. Tak sabar kami ingin segera merasakan hangatnya desa kecil di kaki gunung Huale dan Morokele itu. Setelah berhasil sampai puncak Huale atau puncak Nasalala dan menuruni gunung itu, kami pun di sambut dengan hujan. Guyuran hujan membuat jalan yang kami lalui menjadi becek. Lumpur dan air hujan memberatkan langkah kami. Tapi lagi lagi, tak ada kata menyerah di antara kami. Meski lelah mengelanyut di pundak dan kaki kami, hujan terus mengguyur, lumpur juga terus saja mengawal langkah kami hingga memasuki desa manusela, semangat kami terus on fire!!! Hingga sampai lah kami di desa Manusela tepat pada pukul 16.43 WIT. Saya tersenyum puas ketika mulai memasuki desa kecil yang selalu membuat saya kangen ini.

Langkah terus mengayun. Sepatu, betis dan celana pendek saya sudah berbalut lumpur. Dan….

“kakak rosaaaaa…kakak dharmaaaa…” panggil sejumlah anak dari balik jendela rumah.

Waaaaa..ternyata mereka masih ingat kami. Kami pun say hello dengan mereka. dii susul kemudian panggilan lagi dari sisi kanan jalan

“selamat datang kakak rosaa…” sapa anak-anak manusela lengkap dengan senyuman manis mereka

Jiaaaah… rasa lelah yang menggelayut manja setelah  4 hari berjalan terbalas sudah dengan sapaan anak-anak Manusela sore itu.

Saya dan teman-teman segera mempercepat langkah menuju rumah bapa raja yang berada di sebrang SD YPPK Manusela.

“akhirnya saya datang lagi…” batin saya

Di sambut oleh bapa dan mama raja dan mama yuli kami memasuki pelataran rumah adat itu. Senyum dan sapa mereka juga tak kalah hangat nya dengan anak-anak manusela. Mereka sehat. Masih sama dengan saat pertama kali saya datang.

Selesai bebersih diri, saya menghangatkan diri di depan tungku ditemani mama yuli yang sedang menggoreng pisang. Kami bercerita ngalor-ngidul. Dan rupanya mama yuli mengira kami akan naik ke gunung Binaiya lagi. Beliau tidak tau kalau carrier-carrier yang kami bawa berisi buku untuk SD tempat beliau mengabdi.

“jadi rosa dan Dharma tidak naik Binaiya. Kalian bawa buku untuk kami???” begitu tanyanya seakan tidak percaya bahwa kedatangan kami kedua ini untuk menepati janji membawa buku.

“ada 1000 buku yang kalian bawa???” lagi-lagi beliau tercengang ketika saya menyebut jumlah buku yang kami bawa.

“mama, rosa dan dharma ini bawa saribu buku untuk katong!” begitu beliau bilang kepada mama raja dengan bahasa daerahnya.

Saya pun merinding saat melihat ekspresinya yang tak percaya.

“bagus…bagusss…doa katong samua terjawab sudah” ucapnya puas

Malam semakin larut dan saya pun ingat bahwa baterai kamera saya dan Dharma habis. Di desa ini memang tak ada listrik, tapi di rumah bapa pendeta ada mesin jenset yang akan membantu kami meng-charge kamera kami. Tapi teori berubah ketika di lapangan, bapa pendeta yang kami andalkan akan bisa kami tumpangi men-charge baterai kamera ternyata sudah tidak tinggal di manusela lagi. Sedangkan bapa raja tidak punya bahan bakar untuk menyalakan jensetnya. Tuhaaaaaaaannnnn…saya mulai lemas!!! saya tidak bisa membayangkan bahwa saya akan pulang tanpa dokumentasi di manusela dan maraina satu pun. Bahkan, baterai kamera saya yang satunya, yang saya irit-irit dan saya siapkan untuk dokumentasi di atas pun nge-drop. Oh noooooooo…… saya semakin lemas ketika bapa raja datang dari rumah sekertaris desa dan mengatakan bahwa tidak ada solar sedikitpun. Mampusssss!!! Rasanya pengen nangis!!!

“untuk apa saya jauh-jauh datang kesini kalau tidak bisa membawa pulang 1 pun foto untuk sahabat-sahabat 1 Buku???” batin saya diantara tangis. Ya, saya sempat menangis malam itu. Membayangkan betapa kecewanya teman-teman yang sudah mempercayakan saya dan Dharma. aaaaaaa…. Rasanya ingin turun lagi, beli solar biar bisa charge kamera! Tapi itu tidak mungkin! Kami baru saja datang dan membutuhkan waktu 2 hari untuk turun lagi ke mosso. Tak ada warung juga di desa ini. tak ada sinyal untuk telfon ke bawah. Gusti Allah….bantu saaayaaaaaaaaaaaaaaa!!!!!!!!!!!!!!!!!!

“tenang aja sa, pasti ada jalan keluarnya” begitu ucap Dharma mencoba menenangkan saya. Tapi toh itu tak juga mempan menenangkan saya malam itu.

Doa…doa…doaaaa…semoga ada jalan keluar. hanya itu yang bisa saya lakukan malam itu. Tak tau lagi harus berbuat apa.hingga akhirnya saya merencanakan untuk expand sampai 4 hari di manusela dan mengeluarkan ektra money untuk membayar orang manusela turun ke mosso untuk membeli solar.

Hari ke lima.
Kabar baik datang hari itu. Tuhan mendengar doa saya semalam. Bapa raja Maraina baru saja datang dari kota. yang artinya beliau pasti membeli solar. Kami pun segera berkemas untuk pergi ke maraina. Dharma, pak dullah, dan beberapa teman porter segera berangkat ke maraina. Sedangkan saya, 2 tentara dan beberapa porter sisanya menyusul 1 jam setelah membongkar buku-buku dari carrier agak tidak lembab.

Tuhan memang baik! Ada solar di Maraina. Baterai kamera kamipun sudah terisi. Syukur alhamdulilah…

Siangnya, tepat pukul 11.00 WIT kami membawa buku-buku ke SD Negeri Maraina. Siswa-siswa sedang belajar saat itu. Tak ada satupun yang tau kalau kedatangan kami membawa buku. Satu persatu melirik kearah kami saat kami memasuki pelataran sekolah. Mungkin batin mereka “ mereka ini siapa sih, udah bawa tas besar-besar, pakaian lapangan” . gedung sekolah ini terbuatdari dinding kayu yang tak ber daun pintu dan ber daun jendela. Jadi dengan mudah mereka melihat kedatangan kami. Setelah menemui kepala sekolah yang menjadi single fighter  di sekolah itu, kami segera mengadakan prosesi serah terima buku di lapangan sekolah. Anak-anak berlarian keluar dari kelas-kelasnya ketika guru mereka satu-satunya ini meminta mereka berkumpul di lapangan. Ada 5 gedung kelas untuk 6 kelas. Kelas 1 dan 2 di gabung jadi satu dengan alasan tak ada lagi gedung untuk mereka.

Penasaran. Itu yang saya tangkap dari wajah mereka.

Dan kami pun membuat barisan dan menyanyikan lagu indonesia raya. merinding. Terharu. Itu yang saya rasakan. Akhirnya jerih payah tim 1 buku untuk indonesia terbayar sudah.

Prosesi serah terima kami langsungkan. Wajah anak-anak sumringah. Semua tampak senang melihat buku dan peralatan sekolah yang kami bawa. Selesai serah terima simbolis dari tim 1 buku ke murid dan guru SD Negeri Maraina, murid kelas 1 dan 2 pun pulang. Sedangkan kelas 3-6 kembali ke kelas mereka masing-masing. Kami segera masuk ke kantor guru dan merapikan buku-buku.

Spontanitas, saya, 2 tentara, dan para porterpun masuk ke masing-masing kelas dan membantu siswa-siswa belajar. Sedangkan Dharma keluar masuk kelas untuk mendokumentasikan kegiatan kami.

Kejutan lagi. Saya tak menyangka ternyata para porter dan tentara pun juga bersemangat untuk ikut mengajar. Pak Leirisa yang menjadi guru matematika untuk kelas 3, pak Harun dan Bang Teko yang juga menjadi guru matematika di kelas 4, saya sendiri bercerita tentang tokoh dunia di kelas 5, dan pak Dullah tentara mengajar bahasa Indonesia di kelas 6. Semua terlihat serius mengajar. Meskipun tak ada pesiapan, tapi kami bisa improvisasi juga di kelas. Sedangkan di luar ada pak Yanto yang sedang sibuk mengecat papan tulis. Ah, kalian memang hebat! Pikir saya.

Bel berbunyi. Yang artinya waktunya mereka untuk pulang.

Kami pun menyudahi kegiatan kami di kelas dan segera menyelesaikan pengecatan papan-papan tulis dari kelas 3-6.

Selesaii sudah Maraina!!!

Hari ke enam.
Kami melepas Maraina dan kembali kepelukan Manusela. Tepat pukul 9.30 WIT kami memulai kegiatan. Kali ini sedikit berbeda dengan di Maraina. Kami mengadakan upacara bendera sebelum prosesi serah terima. Dan seperti dugaan kita. membutuhkan waktu yang lama, sekitar 1 jam, untuk melatih mereka upacara bendera. Pak Leirisa dan Pak Dullah, melatih 3 siswa yang menjadi pengibar bendera. Cukup susah karena memang mereka tak pernah melakukan upacara bendera. Bahkan karena saking susahnya, sempat di ganti karena 2 siswa selalu salah terus.

Upacara pun di mulai sekitar 1 jam setelah gladi pengibaran bendera. Di pimpin oleh bapa raja manusela, upacara bendera yang untuk pertama kalinya pun berjalan lancar. Merah putih berkibar dengan gagah beriring nyanyian Indonesia Raya dari siswa-siswa SD YPPK Manusela. Suasana haru kembali menyeruak! Mata saya berkaca-kaca saat melihat 3 siswa manusela dengan bangga mengibarkan bendera kebangsaan Negri ini. bulu kuduk merinding ketika mendengar nyanyian Indonesia Raya keluar dari tubuh-tubuh kecil yang tetap bangga menjadi anak bangsa meski harus belajar dalam keterbatasan. Dan mereka tak pernah mengeluh! Hebatttt!!!

Selesai upacara kami segera masuk ke kelas 5. Kali ini mama guru sudah ada teman berjuang, Bapak Onni yang juga guru honorer. Diruang kelas 5 itu, buku kami tumpuk di muka. Ratusan buku ada di depan mata siswa-siswa SD YPPK Manusela kini. Dengan bangga saya pasang banner 1 Buku untuk Indonesia di papan tulis kelas. Acara serah terima pun di mulai. Tawa sumringah dan tepuk tangan dari puluhan siswa, guru, warga manusela mengisi kelas saat saya memberikan secara simbolis peralatan sekolah untuk Bapak Onnie yang kemudian diteruskan kepada siswa. Semua terlihat senang mendapat bantuan buku dan peralatan sekolah dari tim 1 Buku untuk Indonesia. Saya dan Dharma pun saling lirik dan tersenyum puas! Acara siang itu di lanjutkan dengan sambutan-sambutan dari Tim 1 Buku, Bapa Raja, Tentara, dan Guru SD YPPK Manusela. Saya kembali merinding ketika mendengar sepenggal sambutan dari Bapak Onnie mewakili guru di SD YPPK Manusela,

“….puji Tuhan kiranya Tuhan bisa melihat pengorbanan bapak ibu, sehingga berbagai buku berbagai ilmu boleh sampai di tempat kami…kami sangat terkesan…harapan kami tidak berhenti hanya sampai di sini. Jika ada kesempatan, apda saat2 tertentu sodara mahasiswa dan bapak aparat negara bisa mengunjungi kami di pelosok, daerah terisolasi dimana kami tidak bisa mendengar bunyi kendaraan, kami tidak bisa melihat pelangi, teristimewa kemajuan-kemajuan yang ada di kecamatan atau daerah-daerah pesisir. Tapi pendidikan di tempat ini tetap berkembang. Karena kami berpikir generasi muda di negri ini menjadi generasi bangsa yang unggul….”

Tuhaaaannn… rasa haru memenuhi urat nadiku saat itu. Tak bisa membayangkan ketika saya sendiri yang harus berada di posisi bapak Onnie atau Mama Yuli.

Acara ditutup dengan doa yang di pimpin oleh bapak sekertaris desa.

Kami pun segera memasang alat-alat peraga dan merapikan buku-buku. Sedangkan 2 guru hebat itu membagikan peralatan sekolah sama rata. Masing-masing anak mendapat 2 buku tulis, pena, pensil, rautan, dan karet penghapus. Terlihat tawa senang di wajah anak-anak saat menerima “jatah” mereka. begitu menerima saya lihat salah satu anak kemudian berlarian senang, satunya membuka dan mecoba pena, satunya lagi mendekap erat alat-alat sekolah yang mereka terima. Di dalam kelas 4 terlihat siswa-siswa berebut melihat poster tumbuhan monokotil dikotil yag sudah kami pasang di dinding kayu kelasnya, di kelas 5 terlihat siswa-siswa sibuk membaca buku-buku cerita yang kami bawa, di kelas 6 siswa memasang peta dan poster media pengjaran. Aaahhhh…tak ada yang lebih indah saat itu kecuali menjadi saksi hidup kebahagiaan mereka.

“saya senang sekali kakak…” ucap salah satu siswa yang saya lupa namanya.
Kegiatan siang itu di tutup dengan pengecatan papan tulis kelas 1, 2 dan 5.
Syukur alhamdulilah semua berjalan lancar. Manusela dan Maraina selesai sudah. Rasa puas menjadi milik saya, Dharma, tentara dan para porter hari itu. Semua terkesan. Bahkan mama yuli dan bapa raja sempat bilang ke pada kami kalau nanti kita datang lagi mereka akan mengadakan upacara adat. Padahal menurut Pak Dullah, upacara adat hanya di lakukan saat tahun baru dan pelanttikan raja. Woooww….

Saya ingat pesan dari Bapak Noer Muis, mantan pangdam XVI Pattimura, untuk Tim 1 Buku untuk Indonesia,

“ selamat bertugas, apapun yang kita sumbangkan untuk negara dan bangsa Indonesia, akan tidak dapat dinilai dengan materi, sungguh suatu pengabdian yang amat mulia…”

Paginya, kami pun berpamitan dengan keluarga bapa raja. Acara berpamitan menjadi hal yang sangat mengharukan. Apalagi saat saya dan mama yuli bersalaman dan berpelukan. Tampak wajah murung. Tak juga mata beliau melihat saya. Mata kami sudah berkaca-kaca.

“baik-baik di jalan ya rosa….” Begitu beliau pesan. Tak banyak yang bisa beliau ucapkan. Begitu juga saya.

“mama yuli harus tetap semangat…demi adek-adek manusela” begitu jawab saya kemudian saling berpelukan.saling menguatkan.

Selesai berpamitan, kami segera beranjak dari pelataran rumah bapa raja. Langkah kami terasa lebih ringan. Pagi itu masih terlalu pagi. Belum tampak 1 pun siswa SD YPPK Manusela ada di sekolah.

Beberapa langkah saya berjalan, terdengar suara anak kecil memanggil saya,,
“kakak rosaaaaaaaaaaa…” rupanya Yuyun, anak mama Yuli yang berteriak sambil melambaikan tangan ke arah saya dan teman-teman. Kami pun membalas lambaian tangannya dan tersenyum.

Kami melanjutkan langkah…

“ selamat jalan kakak rosa, kakak dharma…baik-baik di jalan” ucap seorang anak yang berdiri di pintu rumahnya melepas kepergian kami.

Kami pun pulang dengan perasaan puas! Di jalan, bayangan  2 bulan yang lalu menari-nari menemani langkah saya menebas lumpur manusela. 2 bulan yang lalu, kami tak punya apa-apa. Buku, uang, link, tak satupun kami punya. Masih ingat ketika pertama kali kami mendapat kiriman buku dari Padang. Yang entah siapa itu karena diatara kami tak ada yang mengenal nama itu. Teringat ketika kamar saya tak mulai dipenuhi kiriman buku dari sahabat  1 buku. Ketika harus berangkat ke ibu kota demi mendaat tebengan herkules. Menggarap semua persiapan mulai dari itinerary, rincian pengeluaran, camp equipment, dan segala kebutuhan dalam hitungan hari saja. Teringat juga ketika beberapa menit sebelum keberangkatan ATM saya keblokir dan hasilnya tidak bisa mengambil uang 1 buku dan akhirnya saya berangkat dengan uang seadanya dan sangat mepet.

Tapi seperti yang di bilang banyak orang, NIAT BAIK AKAN SELALU MENDAPAT JALAN. Dan benar saja, kami selalu mendapat jalan keluar ketika kami mulai buntu. Saat uang kami mepet, datang sejumlah orang yang memberikan donasi ke kami, saat kami butuh bantuan transportasi kami di kenalkan dengan pangdam pattimura, saat kami benar-benar stuck kehabisan baterai kamera bapa raja maraina pulang dari kota membawa solar. Oooooooo….Lord is the best planner!

Tuhan…terimakasih. Misi 1 Buku untuk Indonesia mengirim buku ke 2 SD di ujung gunung ini selesai sudah. Semua berkat Mu. Terimakasih untuk Bapak Syarif Assegaf selaku Wakil Gubernur Provinsi Maluku Tengah, Mayor Jendral TNI Suharsono, Sip selaku Panglima Kodam XVI Pattimura Ambon, Abdul Kadir selaku kepala bagian pendidikan sekolah dasar Provinsi Maluku Tengah, Petualang ACI 2011, Papa Brama, semua kawan-kawan di Ambon yang sangat-sangat baik hati, Iphank, Ulhaq, Berry, bang budi kanal, kakak Ellysa, Bayu kanal, Daeng Kanal, terakhir ribuan terimakasih untuk semua sahabat 1 Buku untuk Indonesia yang sudah mendukung dan mengirim doa untuk kami sehingga program ini bisa berjalan dan selesai dengan sukses. 

1 Buku untuk Indonsia, saya bangga menjadi bagian mu!!!



28/01/2012
23.00


I Wanna Nothing, but You


I wanna crying…
Crying for nothing
I wanna holding
Holding of nothing
I wanna screaming
Screaming for nothing
Those because I wanna nothing but you,




30/01/2012
21.07

“ Tunggu sebentar” begitu kata Nya


“Sedih ya?” tanya seorang Romo yang duduk di sebelah saya sore itu.
“Tidak…saya sudah melalui masa itu Mo. Sekarang sudah terbiasa” dan tersenyum.

Kemudian kami sama-sama saling diam. Mulut kami terkunci rapat diantara bayangan masalalu saya.

Ya, saya memang sudah berhasil melampui masa-masa sedih, masa-masa tidak terima, masa-masa iri karena aku berbeda dengan teman-temanku. Karena teman-teman saya bisa hidup dengan kedua orang tuanya, sedangkan saya tidak. Karena orang tuaku memutuskan untuk berpisah bahkan waktu saya sendiri belum sempat melihat indahnya dunia.

Dulu saya juga pernah tidak terima, berontak, dan marah! Tapi beruntung,  waktu mendewasakan saya. Memberi pengertian untuk bisa sedikit legowo.

24 tahun yang lalu, ketika saya masih di dalam kandungan Ibu 7 bulan, bapak dan ibu memutuskan untuk berpisah. Saat itu Ibu pulang ke rumah kakek membawa saya yang masih meringkuk di dalam rahimnya, dan kakak saya yang nomer 4. Sedangkan bapak bertahan di rumah bersama ke 3 kakak saya. entah apa yang menjadi alasan mereka. sampai hari ini pun saya memutuskan untuk ga tau dan ga mau tau alasan orang tua saya memutuskan untuk berpisah.

Menurut cerita kakak, waktu-waktu itu adalah waktu terberat untuk bapak. bapak pontang panting mengurus sawah, rumah, anak  seorang diri. Bahkan karena tak terbiasa masak nasi, untuk pertama kalinya bapak di tinggal Ibu, beras yang bapak masak tak jadi nasi melainkan bubur. Kondisi ekonomi pun perlahan tapi pasti mulai anjlok. Bapak benar-benar kehabisan cara untuk tetap bertahan hidup. Beberapa petak sawah, vespa, emas dan benda-benda berharga lainnya terpaksa berpindah tangan demi tetap bisa makan dan menyekolahkan anak-anaknya.

Kondisi ibu juga sama. Ibu harus menyiapkan kelahiran saya sendiri tanpa suami. Hanya berteman orangtua dan saudaranya. Kakak saya yang no.4 juga akhirnya balik ke rumah bapak karena sakit-sakitan. Setelah saya lahir, ibu mulai membantu usaha material yang kakek saya bangun. Keadaan ekonomi tak kalah terpuruknya dengan kondisi ekonomi bapak di rumah. Semua cara ibu saya lakukan untuk bisa menghidupi saya. Yang penting halal. Begitu katanya.

Masa-masa kecil sampai SD saya habiskan bersama Ibu. Selepas SD saya pindah ke rumah Bapak karena nilai NEM saya saat itu bagus dan menurut kakek sayang kalau Cuma melanjutkan di sekolah daerah. Saya pun berpindah ke rumah bapak dan melanjutkan sekolah SMP dan SMA di kota.

Masa-masa itulah yang cukup berat buat saya. Masa pencarian jati diri dimulai. Masa-masa dimana sedang ingin diperhatikan tapi tak ada yang memperhatikan saya. Saya selalu merasa iri saat datang kerumah teman, misal, kemudian lihat foto keluarga terpajang di ruang tamu. Atau iri juga ketika melihat teman sekolah di antar/di jemput pulang sama bapak dan ibunya. Damn! Saya ga pernah seperti itu! Saya lakukan semuanya sendiri. bahkan dari masuk SMP hingga kuliah ini saya daftar sekolah sendiri.

Sepat iri! Sempat tidak terima dan memaksa kepada bapak untuk kembali rujuk sama ibu. Tapi masalah hati memang susah. Bapak pun menolak dan memutuskan untuk tetap sendiri. bapak memang keras! Bahkan memang terlalu keras. Ketika saya bertanya Bapak ga kasihan sama anak-anak bapak dengan kondisi seperti ini? Beliau pun menjawab

“Itu dosa seumur hidup bapak sama anak-anak bapak …tapi bapak akan tetap sendiri”

mmm… seperti sebuah tamparan memang. Tapi itu sudah menjadi sebuah keputusan final untuk nya. Sampai dengan hari ini pun beliau masih konsisten dengan apa yang dia bilang beberapa tahun silam. Sepait apapun tetap beliau terima dan lakukan.

Masih juga belum menerima. Saya memutuskan untuk tidak pulang rumah dan tidak menghubungi orang rumah selama berbulan-bulan. Saya marah! Saya hanya ingin bisa melihat bapak dan ibu bisa jadi satu. Dan itu serasa sebuah mimpi yang amat sangat tidak mungin terealisasi.

Lambat laun. Seiring berjalannya waktu. Waktu sendiri yang mendewasakan saya. Memberi saya pengertian bahwa saya jauh masih lebih bejo, bahwa harusnya saya bersyukur karena masih bisa melihat bapak ibu meski tidak dalam 1 frame kehidupan. Tapi semua itu jauh lebih baik daripada anak-anak yang ada dipanti asuhan, yang tak bisa melihat orang tuanya lagi, atau mungkin tidak kenal siapa orang tuanya. Keadaanku jauh lebih baik ternyata ketika saya mau membuka mata. Waktu juga yang mendewasakan saya untuk bisa menerima. Masalah hati tidak semudah itu untuk di paksakan. Bapak dan Ibu punya hati, dan mereka mungkin punya luka sendiri-sendiri sehingga menolak untuk bisa hidup bersama lagi. Dan saya akhrnya berfikir untuk menghargainya. Susah memang! Tapi sekali lahi, masalah hati tidak bisa dipaksakan.

Akhirnya sebuah penerimaan menjadi milik saya saat ini. Meski sebenarnya keinginan untuk bisa melihat orang tua hidup bersama lagi, bisa mempunyai foto keluarga dan di pajang di dinding rumah, menyanding bapak ibu dalam 1 bingkai kehidupan masih tersimpan rapi di dalam mimpi saya.

Berat? Iya! Sedih? Iya! Tapi saya yakin Tuhan memang sudah merencanakan dan menyiapkan rencana lain yang jauh lebih indah untuk saya, orangtua saya, dan kakak-kakak saya. Dan masa-masa untuk bersedih itu memang sudah selesai. Hingga saya akhirnya tak lagi malu, tak lagi menutupi background keluarga saya. Hingga akhirnya saya bisa menceritakan ini semua disini. Ini semua karena waktu lah yang mendewasakan saya dengan segala prosesnya.

Saya membayangkan jika saja saya lahir dan di besarkan di tangan kedua orangtua saya, mungkin saya tidak akan seperti sekarang. Akan jauh lebih manja. Tak bisa apa-apa. Jauh juga dari kata mandiri.

Dan akhirnya, sekarang saya menikmati keadaan saya. Ini berkah. Harus di syukuri. Melakukan yang masih bisa saya lakukan untuk kedua orang tua saya itu lebih bermanfaat dari pada hanya mengurung diri didalam kesedihan, di dalam sebuah ketidakterimaan dan semacamnya. Seperti yang saya lakukan sekarang, membagi waktu saat pulang adalah salah satu caranya. Meskipun Cuma sebentar dirumah, tapi selalu saya usahakan pulang ke tempat bapak dan ibu. Di luar itu, memang saya netral. Tak mau berpihak pada ibu atau bapak. Karena semua orang tua saya.

Lastly, yakinlah bahwa Tuhan itu baik. Sangat sangat sangat baik malah. Dia selalu menghadirkan pelangi setelah badai besar. “Tunggu sebentar” begitu kata Nya. Ya, Dia tau semuanya, sudah menyiapkan semuanya, kita hanya disuruh menunggu dan bersabar. Cheers up…!!! J


29/01/2012
15.30

Sunday, January 8, 2012

1 Buku untuk Indonesia Membuka Jendela Maluku


Buku dan pendidikan adalah 2 wajah dalam 1 koin. Tak bisa terpisahkan satu sama lain dan saling mempengaruhi. Pendidikan membutuhkan buku sebagai sumber pengetahuan, sedangkan buku menjadi salah satu penunjang pendidikan yang wajib ada dalam proses belajar mengajar. Lain kata, buku adalah harga mati untuk kemajuan pendidikan.

Melihat hal itu, sebagai salah satu komunitas pemerhati pendidikan, komunitas 1 Buku untuk Indonesia tergugah untuk ikut berpastisipasi dalam memajukan pendidikan Indonesia. Sebagai komunitas yang masih bau kencur, 1 Buku untuk Indonesia yang lahir 11 november 2011 mengawali proyek pertamanya dengan mengumpulkan dan mendistribusikan buku anak – anak untuk perpustakaan SD YPPK Manusela dan SD Negeri Maraina di Maluku. Setelah melalui proses pengumpulan buku selama 2 bulan dan berhasil mengumpulkan buku sebanyak kurang lebih 1000 buku, peralatan sekolah dan sejumlah uang, Senin 9 januari 2012 buku-buku tersebut dikirimkan ke Maluku via Kapal Km. Gunung Dempo. Menurut jadwal, buku-buku yang diperkirakan seberat 200 kg itu akan sampai di pelabuhan Ambon pada tanggal 13 Januari. Letak Sekolah yang berada di kaki gunung Binaiya itu membuat perjalanan membutuhkan waktu 4 hari perjalanan kaki dengan medan hutan.

1 Buku untuk Indonesia adalah komunitas berbasis pendidikan yang memfokuskan diri pada pengumpulan dan pendistribusian buku untuk perpustakaan - perpustakaan di daerah yang masih terpencil. Harapanya, melalui 1 Buku untuk Indonesia semua siswa di seluruh penjuru Indonesia bisa mengakses informasi yang memadai, sehingga kualitas pendidikan Indonesia akan semakin membaik dan otomatis Sumber Daya Manusia dapat meningkat dan mampu bersaing di jaman global dan serba modern ini.  Jayalah, 1 Buku untuk Indonesia!!!




09/01/2012
08.23


Tuesday, January 3, 2012

Cerita Satu Senja

Kemarin, saat aku menikmati ranum senja di ujung jendela diatas pangkuan kursi malasku, ada seorang anak kecil menghampiriku. Wajahnya tampak ceria. Ujung bibirnya tertarik membuat sebuah senyum manis.  Rambutnya yang hitampanjang ia kuncir dua. Baju hijau bertabur bunga-bunag warna warni semakin menguatkan parasnya yang cantik. Disiku tangan kanannya ada sebuah boneka beruang yang sudah mulai kusut bulu-bulunya.


Dia mendekat padaku, mengelus elus punggung tanganku yang aku letakkan di pegangan kursiku. Tangannya yang halus menata kacamataku yang merosot jauh darI tulang hidungku yang cenderung pesek ini.


Bibir nya semakin mendekat ke arah kuping kiriku…


“Nenek….”

Di sebutnya aku nenek. Disusul senyum kecil. Aku hanya diam.


“Nenek…”

Di sebutnya lagi aku nenek. Tak juga aku membalas suara mungilnya.


Diam. Bayangan ku berlari-lari ke beberapa tahun silam. Aku tak pernah merasa punya suami. Anak. Bahkan cucu. Hingga akhirnya aku menghabiskan setiap senjaku diatas kursi ayun sendiri, hanya berteman benang dan jarum sulam.


Tapi tiba-tiba, saat senja itu datang lagi  menemaniku menghhabiskan hariku, datang seorang  anak kecil, cantik. Tajam matanya itu milikku. Sama. Sama persis denganku.  Kulitnya memang lebih terang dari kulitku yang sering sengaja aku gosongkan saat aku masih muda dulu.


“Nenek…”
Kembali dia memanggilku nenek.


Aku pun masih terdiam. Terbisu. Aku katupkan kelopak mataku dan berpikir. Aku raut ingatanku tentang anak ini. ah, tak dapat juga. Dia masih tampil menjadi sesosok gadis imut yang asing di pikiranku.



“ Dia cucumu, bu. Aku anakmu yang pernah kau buang saat aku lahir dari terlarangmu dengan mantan pacar Ibu berapa puluh tahun yang lalu….”

Jawab seorang perempuan yang muncul dari ujung pintu. Wajahnya sagat mirip dengan ku.






04/01/2012
13.25


cerita ini saya buat setelah mendengar cerita dari seorang teman yang mengangkat anak berumur 20 bulan dari seorang Ibu asuh yang merawat anak itu dari umur 4 bulan karena Ibu kandungnya merantau ke Ibu kota. Anak itu terlahir setelah terjadi pemerkosaan yang dialami Ibunya oleh seorang temannya...


"Baik-baik dengan sahabat tante yang baik itu ya nak..."

Monday, January 2, 2012

durja murka!


Matahari melirikku sinis
dipincingkan teriknya kearahku,
penuh hujat…

Malam pun juga begitu,
Ketika senja di telannya habis,
Dan ku berharap bulan akan meninabobokkan ku
Tapi gelapnya justru malah berganti menghakimi nyawaku

Arg! Derai hujan mulai ikut-ikutan!
Dia menamparku dengan sadis
Mencabikku dengan penuh murka
Padahal, aku benar-benar menunggu hujan akan tawarkan rasa


tubuhku melemah
menunduk aku pada bumi pertiwi
lirih ku bisikkan padanya,

Ini bukan salahku….ini bukan mauku,
aku hanya mencoba mengikuti rasa yang bergelanyut manja penuh asa


03/01/2012
*sebelum renang*