Hari itu masih sangat
pagi untuk mengawali hari. 12 Januari 2011 tepat pukul 07.00 WIT, saya dan
Dharma, akhirnya menginjakkan kaki untuk kedua kalinya di Bumi Pattimura. Kali
ini kami berangkat dengan misi berbeda dengan yang pertama kali. Kalau dulu
kami datang untuk eksplorasi pariwisata Maluku di bawah naungan program Aku
Cinta Indonesia Detikcom. Kali ini, kami membawa seribu buku dari komunitas
kami 1 Buku untuk Indonesia untuk siswa SD YPPK Manusela dan SD Negri Maraina
di Seram Utara. Kami pun tak di temani Brama, travel mate ACI, karena
pekerjaannya yang tak bisa di tinggalkan.
Kedatangan kami pun
di sambut dengan hangat oleh teman kami yang ada di Ambon, Iphank dan Ulhaq.
Kami pun segera meluncur ke rumah Iphank yang berada di Kebun Cengkeh dengan
motor. Tak lama, kami sampai di rumah Iphank dan segera istirahat, mandi dan
sarapan.
Setelah itu, kami pun
segera berangkat ke kota untuk bertemu dengan Wakil Gubernur Provinsi Maluku
Tengah di temani sahabat kami Iphank. Ya, kabar pengiriman buku untuk Seram ini
ternyata sudah sampai di telinga beliau. Beliau pun akhirnya mengundang kami
untuk bertemu dan sekedar berbincang tentang program 1 Buku ini di kantornya
yang berada di pusat kota Ambon. Singkat kata, kami berbincang-bincang tentang
program kami ini. dan tanggapan beliau memang sangat positif. Beliau pun menjanjikan
bantuan transportasi dan menyarankan kami untuk datang ke dinas pendidikan
kecamatan Masohi.
Selesai bertemu
dengan Wakil Gubernur, kami pun segera meluncur ke kodam pattimura yang bersebrangan dengan gedung gubernur
Maluku. Kami berjanjian dengan Pak Riko, kaspri pangdam. Tak lama kami pun
bertemu dengan pak riko. Beliau pun membawa kami ke mess yang di janjikan dari
pangdam untuk tim 1 Buku. Di bayangan saya, mess yang mereka kasih ke kita
adalah barak tentara. Tapi ternyata bukan! mess itu hampir seperti sebuah
wisma. Dan kami mendapat 2 kamar. 1 untuk saya,
1 untuk Dharma. kami pun istirahat sambil menunggu jam 3 untuk bertemu
dengan pangdam pattimura.
Jam 3 WIT. Kami pun
meluncur ke kodam yang ada di belakang mess kami. Setelah melapor ke provos
untuk bertemu dengan pangdam, kami pun di antar ke ruangan pangdam Pattimura
yang ada di lantai 2. Tanpa ribet ini itu, kami pun di persilahkan bertemu
pangdam. Hampir sama waktu bertemu dengan Wagub Maluku. Kami pun mendapat
sambutan yang hangat dari pangdam yang ternyata orang Jawa Timur ini. Setelah
beerkenalan dan basa-basi ini itu, kami pun tenggelam dalam obrolan tentang
program 1 Buku untuk Indonesia. Tanggapan pangdam? Sangat mendukung program
kami! Bahkan pangdam sendiri bersedia membantu transportasi kami dari ambon
hingga mosso dan PP. woooowww… Setelah
itu beliau pun menawarkan diri untuk mengirim 2 anggota nya untuk bergabung di
program pengiriman buku ini. kami pun menerima tawaran itu dengan sangat senang
hati. Setelah di rasa cukup, kami pun pamitan dan tak lupa berfoto dengan
pangdam dan aster agus. Begitu keluar dari ruangan pangdam, saya dan Dharma,
Cuma senyum-senyum senang. Ga kebayang juga kita akan mendapat fasilitas se oke
ini. karena waktu awal, saya sendiri sempeeet bingung. Kalau ketemu dengan
pangdam kira-kira mo ngapain yak?hehe. dan ternyata, memang Rejeki anak-anak
manusela dan maraina batin saya.
well, transportasi udah clear! kami kembali ke
mess. Saatnya membuat daftar logistik perjalanan. Di bantu pak Dullah dan teman
baru kami, Bang Budi Kanal, kami pun tenggelam dalam negosiasi daftar belanjaan
logistik sampai akhirnya kami menyelesaikan nya dalam hitungan jam. Sampai
akhirnya ada telfon yang masuk ke Iphank dari diknas Maluku tengah. Rupanya
Wakil Gubernur memberi kabar kedatangan tim 1 buku ke diknas mal-teng dan
beliau mengundang kami untuk datang ke kantor diknas keesokan hari nya.
Hari kedua kami
berada di Ambon, kami awali dengan mendatangi kantor Kabag Diknas Maluku Tengah
yang tak jauh juga dari mess kami. Sekitar 15 menit kami menunggu di luar
karena rupanya saat kami datang, pak Abdul Kadir yang menjabat menjadi kabag
diknas itu sedang ada tamu. Tepat 15 menit, kami pun di persilahkan masuk ke
ruangannya. Sama seperti saat bertemu dengan wagub dan pangdam. Kami
mengenalkan diri kami dan program 1 Buku unutk Indonesia. beberapa pertanyaan
beliau lontarkan mengenai program kami ini. Dan lagi-lagi, kami mendapat
dukungan untuk operasional perjalanan 1 Buku. Beliau pun menitipkan donasi
sejumlah uang dari diknas mal-teng. Wooow… it’s amazing!!! Sejumlah uang yang
tak kami lumayan besar kami dapat. Selesai pamitan dan foto, kami meninggalkan
ruangan Pak Abdul Kadir. Sesampainya di luar, saya dan Dharma pun langsung Toss
dan tertawa puas! Gilak… kami ga membayangkan akan mendapat bantuan dari banyak
orang di kota yang terkenal dengan rempah-rempahnya ini.
Siangnya, kami pun
berbelanja kebutuhan logistic di temani Pak Dullah dan Bang Budi berbekal
catatan daftar belanjaan yang sudah kami buat kemarin. 1 troli kami penuhi
dengan belanjaan mulai dari beras hingga yang kecil-kecil. Selesai membayar,
Dharma rupanya janjian dengan kawannya, Berry, yang bekerja di BKN Ambon.
Ternyata, Berry tertarik juga dengan kegiatan kami. Dia mengumpulkan donasi
dari teman-teman sekantornya berbekal foto-foto yang Dharma bawa untuk
Manusela. Dan siang itu, Berry menyerahkan hasil donasi teman-temannya kepada
saya. Yuhuuuuuuu… benar-benar di luar dugaan saya dan Dharma! Tuhan memang
sangat baik… selalu saja menghadirkan orang-orang baik di sekitar kami.
Karena mendapat
sokongan dana lagi, kami pun memutuskan untuk menambah buku dan media
pembelajaran untuk Manusela dan Maraina.
Segera kami meluncur ke pasar dan membeli beberapa alat tulis dan buku.
Hari ketiga. 14
Januari 2012. Pukul 7.30 WIT kami pun bersiap dan segera meluncur ke pelabuhan
Tulehu dengan diantar sebuah bus dari kodam Pattimura. Bersama kami, ada 2
anggota kodam yang diturunkan untuk ikut kegiatan kami, Pak Dullah dan Pak
Leirisa, dan 3 anggota kodam pattimura juga yang mengantar kami hingga
pelabuhan. Sesampainya di pelabuhan, barang-barang pun kami turunkan dan segera
kami masukkkan ke kapal cepat cantika Terpedo. Setelah selesai sarapan, kami
segera berpamitan dengan 3 anggota kodam yang mengantar kami dan segera masuk ke
kapal cepat. Suguhan lagu-lagu Maluku yang di nyanyikan oleh 1 keluarga
berkewarganegaraan Belanda menghibur kami semua yang ada di kapal cepat itu.
Tak terasa, 1,5 jam sudah kami berada di kapal. Sampai lah kami di pelabuhan
Amahay. Setelah berhasil merapat, kami pun segera beranjak keluar. Sedangkan
barang-barang yang kami bawa kami percayakan ke kuli panggul pelabuhan.
Diluar, Dandim Masohi
dan beberapa anggotanya sudah menunggu kedatangan kami. Segera kami memasukkan
barang-barang ke dalam mobil militer yang berwarna hijau army itu. Dandim yang
rupanya orang Karanganyar Jawa Tengah itu menyambut kami. Tak lama, kami segera
meluncur ke pelabuhan Tehoru. Sebelumnya, kami berhenti di Masohi untuk
melengkapi beberapa belanjaan yang masih kurang. Sekitar pukul 13.00 WIT kami
selesai berbelanja dan kembali meluncur ke pelabuhan terakhir, Tehoru. Sekitar
3 jam kami habiskan di atas roda mobil hijau army itu. Sampai lah kami di
Pelabuhan Tehoru. Pelabuhan terakhir sebelum kami menyebrang ke Desa Mosso.
Disana, kami pun bertemu dengan Danramil Tehoru. Beliau pun menyambut kami
dengan tak kalah hangatnya.
Karena angin sangat
kencang dan gelombang lumayan besar, Danramil pun tidak mengijin kan kami untuk
menyebrang dengan ketingting (perahu kecil). Beliau pun menyarankan untuk
menggunakan kapal Speed. Dan benar saja, tak berapa lama kamii menuggu, sudah
ada kapal speed yang bersandar di bibir pantai Tehoru dan siap mengantarkan
kami. Kami pun segera memindahkan barang-barang kami dari mobil TNI ke kapal
speed di bantu anak-anak Tehoru yang sedang bermain bola. Keluarga koramil
Tehoru dan beberapa anak-anak melepas kami. Sungguh, kami sangat beruntung!
Banyak sekali tangan-tangan yang menyambut kedatangan kami saat itu.
Di kapal pun saya
segera naik ke atap kapal yang berwarna biru putih tersebut. Menikmati angin
dan gelombang laut yang lumayan besar. Beberapa kali mesin kapal mati. Hidup
lagi. Mati lagi. Hingga akhirnya sebanyak 15 kali mesin kapal mati ditengah
laut. Tapi berkat nahkoda kami yang cekatan, kami pun bisa bersandar di bibir
pantai Mosso setelah 1,5 jam mengarungi lautan di bawah payung mendung.
Di bibir pantai,
warga desa Mosso sudah menyambut kami. Mereka pun membantu kami menurunkan
barang-barang dari atas kapal ke daratan dan segera membawanya ke rumah pak
Dullah yang hanya berjarak sekitar 50 meter dari bibir laut. Bapa Raja yang
juga ayah dari pak Dullah menyambut kedatangan kami. Beliau sempat bilang sama
saya,
“banyak anak
perempuan yang naik ke Binaiya, tapi yang datang untuk kedua kalinya sangat
jarang. Dan rosa ternyata datang lagi” saya pun hanya tersenyum.
Untuk saya dan
Dharma, warga Mosso memang sudah seperti keluarga kami sendiri. meskipun kami
baru pertama datang tapi mereka sangat hangat sekali menyambut kedatangan kami
yang kedua ini.
Malamnya, kami
packing untuk persiapan trekking esok hari. Semua buku yang ada di kardus kami
buka dan pindahkan ke dalam carrier. Dari 10 kardus, akhirnya menjadi 7
carrier. Sedangkan logistik dan camp equipment menjadi 2 carrier. Dan beberapa
lagi masuk ke day pack kami.
Sedari awal semua
lancar. Tapi yang namanya jalan, ga selamanya mulus. Masalah pun datang.
Orang-orang manusela yang kami perkirakan turun dan akan membawa buku-buku
tersebut bersama kami pun ternyata tidak ada yang turun. Akhirnya, pak Dullah
pun menawarkan kepada kami untuk memakai porter Mosso. Negosiasi jumlah porter
pun di mulai. Pak Dullah mengajukan 9 porter termasuk dia. Sedangkan saya hanya
meng-ACC 8 saja dengan pertimbangan keuangan. Setelah berdiskusi dengan Dharma
dan menghitung keuangan dan dirasa mencukupi, saya pun akhirnya meng-ACC 9
porter. Jumlah logistik pun kami tambah. Sekitar 35 kg beras dan sejumlah bahan
pokok lainnya kami bawa untuk persediaan makan kami selama 8 hari.
Hari kelima, 15
Januari 2012. Pukul 08.15 WIT. Kami melepas desa Mosso yang menjadi titik Nol
pendakian gunung Binaiya ini dengan iringan doa dari warga Mosso. sebelumnya,
pemuka agama setempat mengajak kami untuk berdoa bersama. Sebanyak 13 orang
meninggalkan Mosso. Saya, Dharma, 2 Anggota Kodam Pattimura, dan 9 porter
Mosso. Perjalanan di mulai. Bismillah…saya yakin, Tuhan bersama orang-orang
pemberani ini.
Cuaca cerah, langkah
kami pun terus mengayun dan sesekali berhenti untuk mengambil nafas. Selepas ladang
desa Mosso, kami pun mulai memasuki kawasan hutan Taman Nasional Manusela yang
sangat kaya akan flora dan fauna itu. Sekitar 7 jam kami berjalan, sampai lah
kami di dusun pertama, Dusun Sinahari. Dusun yang hanya terdapat 1 rumah yang
di huni 4 Kepala Keluarga itu menjadi tempat singgah kami di hari pertama. Desa
ini adalah desa adat yang masih menganut animisme. Kami pun segera melepas
lelah sambil bertegur sapa dengan warga dusun adat ini. mereka sangat ramah.
Waktu kedatangan saya dan Dharma pertama kali, kami tidak bersua. Mereka sedang
ke Masohi untuk membeli kebutuhan pokok. Dan syukurlah, hari itu kami bisa
bertemu dan menginap di rumah adat yang semua bagian terbuat dari pohon sagu.
Menjelang sore, teman-teman bebersih diri di sebuah pancuran yang berada di
depan rumah. PR buat saya! Tidak bisa segera mandi karena pancuran tersebut
benar-benar di muka rumah dan terbuka. Akhirnya saya pun menahan keinginan saya
untuk mandi hingga malam tiba. Di dusun ini tidak ada listrik. Mereka
mengandalkan lampu minyak sebagai penerangan. Dan saya pun mandi di antara
gelap malam dan cemas takut kalau-kalau ada yang mengintip. Heeheee…
Malam datang dan kami
pun beristirahat. Beberapa dari kami menghabiskan malam sambil belajar bahasa
tanah, bahasa daerah dusun ini dipandu bapa raja.
Hari ke enam, atau
hari kedua perjalanan kami menuju Manusela dan Maraina. Kami memulai perjalanan
saat jarum jam menunjukkan pukul 09.00 WIT. Selesai berdoa kami pun mengayun
langkah lagi menyusuri hutan tropis manusela ini. medan mulai menanjak. Peluh
pun mulai membasahi badan kami. Muka asam mulai terlihat di wajah para porter.
Hingga akhirnya setelah 8 jam berjalan, kami pun memasuki Liang Dua atau Liang
Silahata pada pukul 16.30 WIT. Oiya, jalur menuju manusela ini memang lumayan
ekstrim. Itu kenapa tidak disarankan untuk melakukan perjalanan saat malam
hari.
Kami pun bermalam di
liang dua. Badan yang lelah, malam yang dingin, menggoda kami untuk
menghangatkannya dengan cerita dan guyonan dari para porter dan tim 1 buku.
Hingga akhirnya pak Yanto () mengingatkan kami untuk segera tidur karena malam
sudah larut. Saat nya istirahat. Tapi, tak ada yang menghiraukan perkataan pak
Yanto. Kami terus larut diantara cerita dan guyonan. Sesekali kami tertawa
terbahak-bahak. Dan akhirnya kami diam saat alam menggingatkan kami untuk
segera beristirahat. Kejadiannya saat tengah malam, saat kami sedang tenggelam
diantara tawa, Bang Buce yang tidur di ujung merasakan ada butiran pasir dan
kerikil dalam jumlah lumayan yang jatuh dari atas. Spontan Bang Buce langsung
bangun. Dan saat itu juga, sebuah batu berukuran kepala orang dewasa jatuh
persis di atas matras dan tepatnya di posisi kepala. Entah apa jadinya jika
Bang Buce tidak bangun saat ada pasir berguguran dari atas. Kami pun panik.
Segera membetulkan posisi tidur dan cemas jika ada batu ke dua ketiga atau
bahkan ke empat menimpa kami. Alam berbicara, dan kami pun mengamini. Kami
segera tidur. Melepas lelah di pelukan hutan tropis Manusela.
17 Januari 2012 atau
hari ke tiga perjalanan tim 1 Buku untuk Indonesia menyusuri hutan Taman
Nasional Manusela yang terkenal dengan flora anggrek Manusela dan fauna nya
burung nuri. Pukul 09.00 WIT kami meninggalkan liang dua. Medan mulai
bervariasi. Tanjakan semakin curam saja. Jalan hanya setapak dan tipis dengan
jurang. Hari ketiga itu, kami sudah memasuki jalur air. Harus menyebrang sungai
dan menyusuri sungai seki walala. Tapi meski tanjakan semakin curam, harus
susur sungai, semangat para kami tak goyah. Justru semakin menggebu dan ingin
segera sampai manusela. Ada yang lucu ketika ternyata, para porter tidak hanya
memposisikan dirinya sebagai porter yang dibayar untuk membawa buku-buku kami.
Tapi tak di sangka, mereka mempunyai tanggung jawab lebih.
“Saya salut sama Bu Rosa dan Pak Dhar yang jauh-jauh dari jawa membawa
buku untuk anak cucu kami di Manusela. Ini kali pertama ada bantuan semacam ini
untuk mereka. Itu membuat kami semakin bersemangat membawa buku-buku ini sampai
ke Manusela dan Maraina. Kalian berdua memotivasi kami” ujar Pak Yanto
dalam logat Ambon yang sangat kental.
Saya pun tersenyum
mendengar ucapan beliau. Tak menyangka bahwa mereka pun akan mempunyai nilai
lebih dari perjalanan ini. padahal, sebelum pak Yanto bilang begitu dengan
saya, saya sempat secara tidak langsung tersemangati oleh mereka. beban yang
berat atau beban abadi, begitu kami menyebut beban buku yang tak berkurang dari
hari pertama hingga hari terakhir,tak menyurutkan langkah dan semangat mereka.
Malam ketiga, kami
bermalam di walang. Sebuah sheter yang acap kali di jadikan tempat istirahat
untuk warga manusela saat perjalanan turun ke mosso atau hatumete.
Hari ke empat.
Target kami hari ini sudah bisa masuk ke Manusela. Tak sabar kami ingin segera
merasakan hangatnya desa kecil di kaki gunung Huale dan Morokele itu. Setelah
berhasil sampai puncak Huale atau puncak Nasalala dan menuruni gunung itu, kami
pun di sambut dengan hujan. Guyuran hujan membuat jalan yang kami lalui menjadi
becek. Lumpur dan air hujan memberatkan langkah kami. Tapi lagi lagi, tak ada
kata menyerah di antara kami. Meski lelah mengelanyut di pundak dan kaki kami,
hujan terus mengguyur, lumpur juga terus saja mengawal langkah kami hingga
memasuki desa manusela, semangat kami terus on
fire!!! Hingga sampai lah kami di desa Manusela tepat pada pukul 16.43 WIT.
Saya tersenyum puas ketika mulai memasuki desa kecil yang selalu membuat saya
kangen ini.
Langkah terus
mengayun. Sepatu, betis dan celana pendek saya sudah berbalut lumpur. Dan….
“kakak
rosaaaaa…kakak dharmaaaa…” panggil sejumlah anak dari balik jendela rumah.
Waaaaa..ternyata
mereka masih ingat kami. Kami pun say
hello dengan mereka. dii susul kemudian panggilan lagi dari sisi kanan
jalan
“selamat
datang kakak rosaa…” sapa anak-anak manusela lengkap dengan senyuman manis
mereka
Jiaaaah… rasa lelah
yang menggelayut manja setelah 4 hari
berjalan terbalas sudah dengan sapaan anak-anak Manusela sore itu.
Saya dan teman-teman
segera mempercepat langkah menuju rumah bapa raja yang berada di sebrang SD
YPPK Manusela.
“akhirnya saya datang
lagi…” batin saya
Di sambut oleh bapa
dan mama raja dan mama yuli kami memasuki pelataran rumah adat itu. Senyum dan
sapa mereka juga tak kalah hangat nya dengan anak-anak manusela. Mereka sehat.
Masih sama dengan saat pertama kali saya datang.
Selesai bebersih
diri, saya menghangatkan diri di depan tungku ditemani mama yuli yang sedang
menggoreng pisang. Kami bercerita ngalor-ngidul.
Dan rupanya mama yuli mengira kami akan naik ke gunung Binaiya lagi. Beliau
tidak tau kalau carrier-carrier yang kami bawa berisi buku untuk SD tempat
beliau mengabdi.
“jadi rosa dan Dharma
tidak naik Binaiya. Kalian bawa buku untuk kami???” begitu tanyanya seakan
tidak percaya bahwa kedatangan kami kedua ini untuk menepati janji membawa
buku.
“ada 1000 buku yang
kalian bawa???” lagi-lagi beliau tercengang ketika saya menyebut jumlah buku
yang kami bawa.
“mama, rosa dan
dharma ini bawa saribu buku untuk katong!” begitu beliau bilang kepada mama
raja dengan bahasa daerahnya.
Saya pun merinding
saat melihat ekspresinya yang tak percaya.
“bagus…bagusss…doa
katong samua terjawab sudah” ucapnya puas
Malam semakin larut
dan saya pun ingat bahwa baterai kamera saya dan Dharma habis. Di desa ini
memang tak ada listrik, tapi di rumah bapa pendeta ada mesin jenset yang akan
membantu kami meng-charge kamera kami. Tapi teori berubah ketika di lapangan,
bapa pendeta yang kami andalkan akan bisa kami tumpangi men-charge baterai
kamera ternyata sudah tidak tinggal di manusela lagi. Sedangkan bapa raja tidak
punya bahan bakar untuk menyalakan jensetnya. Tuhaaaaaaaannnnn…saya mulai
lemas!!! saya tidak bisa membayangkan bahwa saya akan pulang tanpa dokumentasi
di manusela dan maraina satu pun. Bahkan, baterai kamera saya yang satunya,
yang saya irit-irit dan saya siapkan untuk dokumentasi di atas pun nge-drop. Oh
noooooooo…… saya semakin lemas ketika bapa raja datang dari rumah sekertaris
desa dan mengatakan bahwa tidak ada solar sedikitpun. Mampusssss!!! Rasanya
pengen nangis!!!
“untuk apa saya
jauh-jauh datang kesini kalau tidak bisa membawa pulang 1 pun foto untuk
sahabat-sahabat 1 Buku???” batin saya diantara tangis. Ya, saya sempat menangis
malam itu. Membayangkan betapa kecewanya teman-teman yang sudah mempercayakan
saya dan Dharma. aaaaaaa…. Rasanya ingin turun lagi, beli solar biar bisa
charge kamera! Tapi itu tidak mungkin! Kami baru saja datang dan membutuhkan
waktu 2 hari untuk turun lagi ke mosso. Tak ada warung juga di desa ini. tak
ada sinyal untuk telfon ke bawah. Gusti Allah….bantu
saaayaaaaaaaaaaaaaaa!!!!!!!!!!!!!!!!!!
“tenang aja sa, pasti
ada jalan keluarnya” begitu ucap Dharma mencoba menenangkan saya. Tapi toh itu
tak juga mempan menenangkan saya malam itu.
Doa…doa…doaaaa…semoga
ada jalan keluar. hanya itu yang bisa saya lakukan malam itu. Tak tau lagi
harus berbuat apa.hingga akhirnya saya merencanakan untuk expand sampai 4 hari
di manusela dan mengeluarkan ektra money untuk membayar orang manusela turun ke
mosso untuk membeli solar.
Hari ke lima.
Kabar baik datang
hari itu. Tuhan mendengar doa saya semalam. Bapa raja Maraina baru saja datang
dari kota. yang artinya beliau pasti membeli solar. Kami pun segera berkemas
untuk pergi ke maraina. Dharma, pak dullah, dan beberapa teman porter segera
berangkat ke maraina. Sedangkan saya, 2 tentara dan beberapa porter sisanya
menyusul 1 jam setelah membongkar buku-buku dari carrier agak tidak lembab.
Tuhan memang baik!
Ada solar di Maraina. Baterai kamera kamipun sudah terisi. Syukur alhamdulilah…
Siangnya, tepat pukul
11.00 WIT kami membawa buku-buku ke SD Negeri Maraina. Siswa-siswa sedang
belajar saat itu. Tak ada satupun yang tau kalau kedatangan kami membawa buku.
Satu persatu melirik kearah kami saat kami memasuki pelataran sekolah. Mungkin
batin mereka “ mereka ini siapa sih, udah bawa tas besar-besar, pakaian
lapangan” . gedung sekolah ini terbuatdari dinding kayu yang tak ber daun pintu
dan ber daun jendela. Jadi dengan mudah mereka melihat kedatangan kami. Setelah
menemui kepala sekolah yang menjadi single
fighter di sekolah itu, kami segera
mengadakan prosesi serah terima buku di lapangan sekolah. Anak-anak berlarian
keluar dari kelas-kelasnya ketika guru mereka satu-satunya ini meminta mereka
berkumpul di lapangan. Ada 5 gedung kelas untuk 6 kelas. Kelas 1 dan 2 di
gabung jadi satu dengan alasan tak ada lagi gedung untuk mereka.
Penasaran. Itu yang
saya tangkap dari wajah mereka.
Dan kami pun membuat
barisan dan menyanyikan lagu indonesia raya. merinding. Terharu. Itu yang saya
rasakan. Akhirnya jerih payah tim 1 buku untuk indonesia terbayar sudah.
Prosesi serah terima
kami langsungkan. Wajah anak-anak sumringah. Semua tampak senang melihat buku
dan peralatan sekolah yang kami bawa. Selesai serah terima simbolis dari tim 1
buku ke murid dan guru SD Negeri Maraina, murid kelas 1 dan 2 pun pulang.
Sedangkan kelas 3-6 kembali ke kelas mereka masing-masing. Kami segera masuk ke
kantor guru dan merapikan buku-buku.
Spontanitas, saya, 2
tentara, dan para porterpun masuk ke masing-masing kelas dan membantu
siswa-siswa belajar. Sedangkan Dharma keluar masuk kelas untuk
mendokumentasikan kegiatan kami.
Kejutan lagi. Saya
tak menyangka ternyata para porter dan tentara pun juga bersemangat untuk ikut
mengajar. Pak Leirisa yang menjadi guru matematika untuk kelas 3, pak Harun dan
Bang Teko yang juga menjadi guru matematika di kelas 4, saya sendiri bercerita
tentang tokoh dunia di kelas 5, dan pak Dullah tentara mengajar bahasa
Indonesia di kelas 6. Semua terlihat serius mengajar. Meskipun tak ada
pesiapan, tapi kami bisa improvisasi juga di kelas. Sedangkan di luar ada pak
Yanto yang sedang sibuk mengecat papan tulis. Ah, kalian memang hebat! Pikir
saya.
Bel berbunyi. Yang
artinya waktunya mereka untuk pulang.
Kami pun menyudahi
kegiatan kami di kelas dan segera menyelesaikan pengecatan papan-papan tulis
dari kelas 3-6.
Selesaii sudah
Maraina!!!
Hari ke enam.
Kami melepas Maraina
dan kembali kepelukan Manusela. Tepat pukul 9.30 WIT kami memulai kegiatan.
Kali ini sedikit berbeda dengan di Maraina. Kami mengadakan upacara bendera
sebelum prosesi serah terima. Dan seperti dugaan kita. membutuhkan waktu yang lama,
sekitar 1 jam, untuk melatih mereka upacara bendera. Pak Leirisa dan Pak
Dullah, melatih 3 siswa yang menjadi pengibar bendera. Cukup susah karena
memang mereka tak pernah melakukan upacara bendera. Bahkan karena saking
susahnya, sempat di ganti karena 2 siswa selalu salah terus.
Upacara pun di mulai
sekitar 1 jam setelah gladi pengibaran bendera. Di pimpin oleh bapa raja
manusela, upacara bendera yang untuk pertama kalinya pun berjalan lancar. Merah
putih berkibar dengan gagah beriring nyanyian Indonesia Raya dari siswa-siswa
SD YPPK Manusela. Suasana haru kembali menyeruak! Mata saya berkaca-kaca saat
melihat 3 siswa manusela dengan bangga mengibarkan bendera kebangsaan Negri
ini. bulu kuduk merinding ketika mendengar nyanyian Indonesia Raya keluar dari tubuh-tubuh
kecil yang tetap bangga menjadi anak bangsa meski harus belajar dalam
keterbatasan. Dan mereka tak pernah mengeluh! Hebatttt!!!
Selesai upacara kami
segera masuk ke kelas 5. Kali ini mama guru sudah ada teman berjuang, Bapak
Onni yang juga guru honorer. Diruang kelas 5 itu, buku kami tumpuk di muka.
Ratusan buku ada di depan mata siswa-siswa SD YPPK Manusela kini. Dengan bangga
saya pasang banner 1 Buku untuk Indonesia di papan tulis kelas. Acara serah
terima pun di mulai. Tawa sumringah dan tepuk tangan dari puluhan siswa, guru,
warga manusela mengisi kelas saat saya memberikan secara simbolis peralatan
sekolah untuk Bapak Onnie yang kemudian diteruskan kepada siswa. Semua terlihat
senang mendapat bantuan buku dan peralatan sekolah dari tim 1 Buku untuk
Indonesia. Saya dan Dharma pun saling lirik dan tersenyum puas! Acara siang itu
di lanjutkan dengan sambutan-sambutan dari Tim 1 Buku, Bapa Raja, Tentara, dan
Guru SD YPPK Manusela. Saya kembali merinding ketika mendengar sepenggal
sambutan dari Bapak Onnie mewakili guru di SD YPPK Manusela,
“….puji
Tuhan kiranya Tuhan bisa melihat pengorbanan bapak ibu, sehingga berbagai buku
berbagai ilmu boleh sampai di tempat kami…kami sangat terkesan…harapan kami
tidak berhenti hanya sampai di sini. Jika ada kesempatan, apda saat2 tertentu
sodara mahasiswa dan bapak aparat negara bisa mengunjungi kami di pelosok,
daerah terisolasi dimana kami tidak bisa mendengar bunyi kendaraan, kami tidak
bisa melihat pelangi, teristimewa kemajuan-kemajuan yang ada di kecamatan atau
daerah-daerah pesisir. Tapi pendidikan di tempat ini tetap berkembang. Karena
kami berpikir generasi muda di negri ini menjadi generasi bangsa yang unggul….”
Tuhaaaannn… rasa haru
memenuhi urat nadiku saat itu. Tak bisa membayangkan ketika saya sendiri yang
harus berada di posisi bapak Onnie atau Mama Yuli.
Acara ditutup dengan
doa yang di pimpin oleh bapak sekertaris desa.
Kami pun segera
memasang alat-alat peraga dan merapikan buku-buku. Sedangkan 2 guru hebat itu
membagikan peralatan sekolah sama rata. Masing-masing anak mendapat 2 buku
tulis, pena, pensil, rautan, dan karet penghapus. Terlihat tawa senang di wajah
anak-anak saat menerima “jatah” mereka. begitu menerima saya lihat salah satu
anak kemudian berlarian senang, satunya membuka dan mecoba pena, satunya lagi
mendekap erat alat-alat sekolah yang mereka terima. Di dalam kelas 4 terlihat
siswa-siswa berebut melihat poster tumbuhan monokotil dikotil yag sudah kami
pasang di dinding kayu kelasnya, di kelas 5 terlihat siswa-siswa sibuk membaca
buku-buku cerita yang kami bawa, di kelas 6 siswa memasang peta dan poster
media pengjaran. Aaahhhh…tak ada yang lebih indah saat itu kecuali menjadi
saksi hidup kebahagiaan mereka.
“saya
senang sekali kakak…” ucap salah satu siswa yang saya lupa
namanya.
Kegiatan siang itu di
tutup dengan pengecatan papan tulis kelas 1, 2 dan 5.
Syukur alhamdulilah
semua berjalan lancar. Manusela dan Maraina selesai sudah. Rasa puas menjadi
milik saya, Dharma, tentara dan para porter hari itu. Semua terkesan. Bahkan
mama yuli dan bapa raja sempat bilang ke pada kami kalau nanti kita datang lagi
mereka akan mengadakan upacara adat. Padahal menurut Pak Dullah, upacara adat
hanya di lakukan saat tahun baru dan pelanttikan raja. Woooww….
Saya ingat pesan dari
Bapak Noer Muis, mantan pangdam XVI Pattimura, untuk Tim 1 Buku untuk
Indonesia,
“
selamat bertugas, apapun yang kita sumbangkan untuk negara dan bangsa
Indonesia, akan tidak dapat dinilai dengan materi, sungguh suatu pengabdian
yang amat mulia…”
Paginya, kami pun
berpamitan dengan keluarga bapa raja. Acara berpamitan menjadi hal yang sangat
mengharukan. Apalagi saat saya dan mama yuli bersalaman dan berpelukan. Tampak
wajah murung. Tak juga mata beliau melihat saya. Mata kami sudah berkaca-kaca.
“baik-baik
di jalan ya rosa….” Begitu beliau pesan. Tak banyak yang
bisa beliau ucapkan. Begitu juga saya.
“mama
yuli harus tetap semangat…demi adek-adek manusela”
begitu jawab saya kemudian saling berpelukan.saling menguatkan.
Selesai berpamitan,
kami segera beranjak dari pelataran rumah bapa raja. Langkah kami terasa lebih
ringan. Pagi itu masih terlalu pagi. Belum tampak 1 pun siswa SD YPPK Manusela
ada di sekolah.
Beberapa langkah saya
berjalan, terdengar suara anak kecil memanggil saya,,
“kakak
rosaaaaaaaaaaa…” rupanya Yuyun, anak mama Yuli yang
berteriak sambil melambaikan tangan ke arah saya dan teman-teman. Kami pun
membalas lambaian tangannya dan tersenyum.
Kami melanjutkan
langkah…
“
selamat jalan kakak rosa, kakak dharma…baik-baik di jalan”
ucap seorang anak yang berdiri di pintu rumahnya melepas kepergian kami.
Kami pun pulang
dengan perasaan puas! Di jalan, bayangan
2 bulan yang lalu menari-nari menemani langkah saya menebas lumpur
manusela. 2 bulan yang lalu, kami tak punya apa-apa. Buku, uang, link, tak satupun
kami punya. Masih ingat ketika pertama kali kami mendapat kiriman buku dari
Padang. Yang entah siapa itu karena diatara kami tak ada yang mengenal nama
itu. Teringat ketika kamar saya tak mulai dipenuhi kiriman buku dari sahabat 1 buku. Ketika harus berangkat ke ibu kota
demi mendaat tebengan herkules. Menggarap semua persiapan mulai dari itinerary,
rincian pengeluaran, camp equipment, dan segala kebutuhan dalam hitungan hari
saja. Teringat juga ketika beberapa menit sebelum keberangkatan ATM saya keblokir
dan hasilnya tidak bisa mengambil uang 1 buku dan akhirnya saya berangkat
dengan uang seadanya dan sangat mepet.
Tapi seperti yang di
bilang banyak orang, NIAT BAIK AKAN SELALU MENDAPAT JALAN. Dan benar saja, kami
selalu mendapat jalan keluar ketika kami mulai buntu. Saat uang kami mepet,
datang sejumlah orang yang memberikan donasi ke kami, saat kami butuh bantuan
transportasi kami di kenalkan dengan pangdam pattimura, saat kami benar-benar
stuck kehabisan baterai kamera bapa raja maraina pulang dari kota membawa
solar. Oooooooo….Lord is the best planner!
Tuhan…terimakasih.
Misi 1 Buku untuk Indonesia mengirim buku ke 2 SD di ujung gunung ini selesai
sudah. Semua berkat Mu. Terimakasih untuk Bapak Syarif Assegaf selaku Wakil
Gubernur Provinsi Maluku Tengah, Mayor Jendral TNI Suharsono, Sip selaku
Panglima Kodam XVI Pattimura Ambon, Abdul Kadir selaku kepala bagian pendidikan
sekolah dasar Provinsi Maluku Tengah, Petualang ACI 2011, Papa Brama, semua
kawan-kawan di Ambon yang sangat-sangat baik hati, Iphank, Ulhaq, Berry, bang
budi kanal, kakak Ellysa, Bayu kanal, Daeng Kanal, terakhir ribuan terimakasih
untuk semua sahabat 1 Buku untuk Indonesia yang sudah mendukung dan mengirim
doa untuk kami sehingga program ini bisa berjalan dan selesai dengan sukses.
1 Buku untuk Indonsia, saya bangga menjadi bagian mu!!!
28/01/2012
23.00