Monday, January 30, 2012

“ Tunggu sebentar” begitu kata Nya


“Sedih ya?” tanya seorang Romo yang duduk di sebelah saya sore itu.
“Tidak…saya sudah melalui masa itu Mo. Sekarang sudah terbiasa” dan tersenyum.

Kemudian kami sama-sama saling diam. Mulut kami terkunci rapat diantara bayangan masalalu saya.

Ya, saya memang sudah berhasil melampui masa-masa sedih, masa-masa tidak terima, masa-masa iri karena aku berbeda dengan teman-temanku. Karena teman-teman saya bisa hidup dengan kedua orang tuanya, sedangkan saya tidak. Karena orang tuaku memutuskan untuk berpisah bahkan waktu saya sendiri belum sempat melihat indahnya dunia.

Dulu saya juga pernah tidak terima, berontak, dan marah! Tapi beruntung,  waktu mendewasakan saya. Memberi pengertian untuk bisa sedikit legowo.

24 tahun yang lalu, ketika saya masih di dalam kandungan Ibu 7 bulan, bapak dan ibu memutuskan untuk berpisah. Saat itu Ibu pulang ke rumah kakek membawa saya yang masih meringkuk di dalam rahimnya, dan kakak saya yang nomer 4. Sedangkan bapak bertahan di rumah bersama ke 3 kakak saya. entah apa yang menjadi alasan mereka. sampai hari ini pun saya memutuskan untuk ga tau dan ga mau tau alasan orang tua saya memutuskan untuk berpisah.

Menurut cerita kakak, waktu-waktu itu adalah waktu terberat untuk bapak. bapak pontang panting mengurus sawah, rumah, anak  seorang diri. Bahkan karena tak terbiasa masak nasi, untuk pertama kalinya bapak di tinggal Ibu, beras yang bapak masak tak jadi nasi melainkan bubur. Kondisi ekonomi pun perlahan tapi pasti mulai anjlok. Bapak benar-benar kehabisan cara untuk tetap bertahan hidup. Beberapa petak sawah, vespa, emas dan benda-benda berharga lainnya terpaksa berpindah tangan demi tetap bisa makan dan menyekolahkan anak-anaknya.

Kondisi ibu juga sama. Ibu harus menyiapkan kelahiran saya sendiri tanpa suami. Hanya berteman orangtua dan saudaranya. Kakak saya yang no.4 juga akhirnya balik ke rumah bapak karena sakit-sakitan. Setelah saya lahir, ibu mulai membantu usaha material yang kakek saya bangun. Keadaan ekonomi tak kalah terpuruknya dengan kondisi ekonomi bapak di rumah. Semua cara ibu saya lakukan untuk bisa menghidupi saya. Yang penting halal. Begitu katanya.

Masa-masa kecil sampai SD saya habiskan bersama Ibu. Selepas SD saya pindah ke rumah Bapak karena nilai NEM saya saat itu bagus dan menurut kakek sayang kalau Cuma melanjutkan di sekolah daerah. Saya pun berpindah ke rumah bapak dan melanjutkan sekolah SMP dan SMA di kota.

Masa-masa itulah yang cukup berat buat saya. Masa pencarian jati diri dimulai. Masa-masa dimana sedang ingin diperhatikan tapi tak ada yang memperhatikan saya. Saya selalu merasa iri saat datang kerumah teman, misal, kemudian lihat foto keluarga terpajang di ruang tamu. Atau iri juga ketika melihat teman sekolah di antar/di jemput pulang sama bapak dan ibunya. Damn! Saya ga pernah seperti itu! Saya lakukan semuanya sendiri. bahkan dari masuk SMP hingga kuliah ini saya daftar sekolah sendiri.

Sepat iri! Sempat tidak terima dan memaksa kepada bapak untuk kembali rujuk sama ibu. Tapi masalah hati memang susah. Bapak pun menolak dan memutuskan untuk tetap sendiri. bapak memang keras! Bahkan memang terlalu keras. Ketika saya bertanya Bapak ga kasihan sama anak-anak bapak dengan kondisi seperti ini? Beliau pun menjawab

“Itu dosa seumur hidup bapak sama anak-anak bapak …tapi bapak akan tetap sendiri”

mmm… seperti sebuah tamparan memang. Tapi itu sudah menjadi sebuah keputusan final untuk nya. Sampai dengan hari ini pun beliau masih konsisten dengan apa yang dia bilang beberapa tahun silam. Sepait apapun tetap beliau terima dan lakukan.

Masih juga belum menerima. Saya memutuskan untuk tidak pulang rumah dan tidak menghubungi orang rumah selama berbulan-bulan. Saya marah! Saya hanya ingin bisa melihat bapak dan ibu bisa jadi satu. Dan itu serasa sebuah mimpi yang amat sangat tidak mungin terealisasi.

Lambat laun. Seiring berjalannya waktu. Waktu sendiri yang mendewasakan saya. Memberi saya pengertian bahwa saya jauh masih lebih bejo, bahwa harusnya saya bersyukur karena masih bisa melihat bapak ibu meski tidak dalam 1 frame kehidupan. Tapi semua itu jauh lebih baik daripada anak-anak yang ada dipanti asuhan, yang tak bisa melihat orang tuanya lagi, atau mungkin tidak kenal siapa orang tuanya. Keadaanku jauh lebih baik ternyata ketika saya mau membuka mata. Waktu juga yang mendewasakan saya untuk bisa menerima. Masalah hati tidak semudah itu untuk di paksakan. Bapak dan Ibu punya hati, dan mereka mungkin punya luka sendiri-sendiri sehingga menolak untuk bisa hidup bersama lagi. Dan saya akhrnya berfikir untuk menghargainya. Susah memang! Tapi sekali lahi, masalah hati tidak bisa dipaksakan.

Akhirnya sebuah penerimaan menjadi milik saya saat ini. Meski sebenarnya keinginan untuk bisa melihat orang tua hidup bersama lagi, bisa mempunyai foto keluarga dan di pajang di dinding rumah, menyanding bapak ibu dalam 1 bingkai kehidupan masih tersimpan rapi di dalam mimpi saya.

Berat? Iya! Sedih? Iya! Tapi saya yakin Tuhan memang sudah merencanakan dan menyiapkan rencana lain yang jauh lebih indah untuk saya, orangtua saya, dan kakak-kakak saya. Dan masa-masa untuk bersedih itu memang sudah selesai. Hingga saya akhirnya tak lagi malu, tak lagi menutupi background keluarga saya. Hingga akhirnya saya bisa menceritakan ini semua disini. Ini semua karena waktu lah yang mendewasakan saya dengan segala prosesnya.

Saya membayangkan jika saja saya lahir dan di besarkan di tangan kedua orangtua saya, mungkin saya tidak akan seperti sekarang. Akan jauh lebih manja. Tak bisa apa-apa. Jauh juga dari kata mandiri.

Dan akhirnya, sekarang saya menikmati keadaan saya. Ini berkah. Harus di syukuri. Melakukan yang masih bisa saya lakukan untuk kedua orang tua saya itu lebih bermanfaat dari pada hanya mengurung diri didalam kesedihan, di dalam sebuah ketidakterimaan dan semacamnya. Seperti yang saya lakukan sekarang, membagi waktu saat pulang adalah salah satu caranya. Meskipun Cuma sebentar dirumah, tapi selalu saya usahakan pulang ke tempat bapak dan ibu. Di luar itu, memang saya netral. Tak mau berpihak pada ibu atau bapak. Karena semua orang tua saya.

Lastly, yakinlah bahwa Tuhan itu baik. Sangat sangat sangat baik malah. Dia selalu menghadirkan pelangi setelah badai besar. “Tunggu sebentar” begitu kata Nya. Ya, Dia tau semuanya, sudah menyiapkan semuanya, kita hanya disuruh menunggu dan bersabar. Cheers up…!!! J


29/01/2012
15.30

1 comment:

  1. Tunggu sebentar....

    kesempurnaan itu lahir dari ketidaksempurnaan mba....

    yaa hanya tunggu sebentar saja....

    ReplyDelete