“Sedih
ya?”
tanya seorang Romo yang duduk di sebelah saya sore itu.
“Tidak…saya
sudah melalui masa itu Mo. Sekarang sudah terbiasa”
dan tersenyum.
Kemudian kami
sama-sama saling diam. Mulut kami terkunci rapat diantara bayangan masalalu
saya.
Ya, saya memang sudah
berhasil melampui masa-masa sedih, masa-masa tidak terima, masa-masa iri karena
aku berbeda dengan teman-temanku. Karena teman-teman saya bisa hidup dengan
kedua orang tuanya, sedangkan saya tidak. Karena orang tuaku memutuskan untuk berpisah
bahkan waktu saya sendiri belum sempat melihat indahnya dunia.
Dulu saya juga pernah
tidak terima, berontak, dan marah! Tapi beruntung, waktu mendewasakan saya. Memberi pengertian
untuk bisa sedikit legowo.
24 tahun yang lalu,
ketika saya masih di dalam kandungan Ibu 7 bulan, bapak dan ibu memutuskan
untuk berpisah. Saat itu Ibu pulang ke rumah kakek membawa saya yang masih
meringkuk di dalam rahimnya, dan kakak saya yang nomer 4. Sedangkan bapak
bertahan di rumah bersama ke 3 kakak saya. entah apa yang menjadi alasan
mereka. sampai hari ini pun saya memutuskan untuk ga tau dan ga mau tau alasan
orang tua saya memutuskan untuk berpisah.
Menurut cerita kakak,
waktu-waktu itu adalah waktu terberat untuk bapak. bapak pontang panting
mengurus sawah, rumah, anak seorang diri.
Bahkan karena tak terbiasa masak nasi, untuk pertama kalinya bapak di tinggal
Ibu, beras yang bapak masak tak jadi nasi melainkan bubur. Kondisi ekonomi pun perlahan
tapi pasti mulai anjlok. Bapak benar-benar kehabisan cara untuk tetap bertahan
hidup. Beberapa petak sawah, vespa, emas dan benda-benda berharga lainnya
terpaksa berpindah tangan demi tetap bisa makan dan menyekolahkan anak-anaknya.
Kondisi ibu juga
sama. Ibu harus menyiapkan kelahiran saya sendiri tanpa suami. Hanya berteman
orangtua dan saudaranya. Kakak saya yang no.4 juga akhirnya balik ke rumah
bapak karena sakit-sakitan. Setelah saya lahir, ibu mulai membantu usaha
material yang kakek saya bangun. Keadaan ekonomi tak kalah terpuruknya dengan
kondisi ekonomi bapak di rumah. Semua cara ibu saya lakukan untuk bisa
menghidupi saya. Yang penting halal. Begitu katanya.
Masa-masa kecil
sampai SD saya habiskan bersama Ibu. Selepas SD saya pindah ke rumah Bapak
karena nilai NEM saya saat itu bagus dan menurut kakek sayang kalau Cuma
melanjutkan di sekolah daerah. Saya pun berpindah ke rumah bapak dan
melanjutkan sekolah SMP dan SMA di kota.
Masa-masa itulah yang
cukup berat buat saya. Masa pencarian jati diri dimulai. Masa-masa dimana sedang
ingin diperhatikan tapi tak ada yang memperhatikan saya. Saya selalu merasa iri
saat datang kerumah teman, misal, kemudian lihat foto keluarga terpajang di
ruang tamu. Atau iri juga ketika melihat teman sekolah di antar/di jemput
pulang sama bapak dan ibunya. Damn! Saya ga pernah seperti itu! Saya lakukan
semuanya sendiri. bahkan dari masuk SMP hingga kuliah ini saya daftar sekolah
sendiri.
Sepat iri! Sempat
tidak terima dan memaksa kepada bapak untuk kembali rujuk sama ibu. Tapi masalah
hati memang susah. Bapak pun menolak dan memutuskan untuk tetap sendiri. bapak
memang keras! Bahkan memang terlalu keras. Ketika saya bertanya Bapak ga
kasihan sama anak-anak bapak dengan kondisi seperti ini? Beliau pun menjawab
“Itu
dosa seumur hidup bapak sama anak-anak bapak …tapi bapak akan tetap sendiri”
mmm… seperti sebuah
tamparan memang. Tapi itu sudah menjadi sebuah keputusan final untuk nya.
Sampai dengan hari ini pun beliau masih konsisten dengan apa yang dia bilang
beberapa tahun silam. Sepait apapun tetap beliau terima dan lakukan.
Masih juga belum
menerima. Saya memutuskan untuk tidak pulang rumah dan tidak menghubungi orang
rumah selama berbulan-bulan. Saya marah! Saya hanya ingin bisa melihat bapak
dan ibu bisa jadi satu. Dan itu serasa sebuah mimpi yang amat sangat tidak
mungin terealisasi.
Lambat laun. Seiring
berjalannya waktu. Waktu sendiri yang mendewasakan saya. Memberi saya
pengertian bahwa saya jauh masih lebih bejo, bahwa harusnya saya bersyukur
karena masih bisa melihat bapak ibu meski tidak dalam 1 frame kehidupan. Tapi
semua itu jauh lebih baik daripada anak-anak yang ada dipanti asuhan, yang tak
bisa melihat orang tuanya lagi, atau mungkin tidak kenal siapa orang tuanya.
Keadaanku jauh lebih baik ternyata ketika saya mau membuka mata. Waktu juga
yang mendewasakan saya untuk bisa menerima. Masalah hati tidak semudah itu
untuk di paksakan. Bapak dan Ibu punya hati, dan mereka mungkin punya luka
sendiri-sendiri sehingga menolak untuk bisa hidup bersama lagi. Dan saya
akhrnya berfikir untuk menghargainya. Susah memang! Tapi sekali lahi, masalah
hati tidak bisa dipaksakan.
Akhirnya sebuah
penerimaan menjadi milik saya saat ini. Meski sebenarnya keinginan untuk bisa
melihat orang tua hidup bersama lagi, bisa mempunyai foto keluarga dan di
pajang di dinding rumah, menyanding bapak ibu dalam 1 bingkai kehidupan masih
tersimpan rapi di dalam mimpi saya.
Berat? Iya! Sedih?
Iya! Tapi saya yakin Tuhan memang sudah merencanakan dan menyiapkan rencana
lain yang jauh lebih indah untuk saya, orangtua saya, dan kakak-kakak saya. Dan
masa-masa untuk bersedih itu memang sudah selesai. Hingga saya akhirnya tak
lagi malu, tak lagi menutupi background keluarga saya. Hingga akhirnya saya
bisa menceritakan ini semua disini. Ini semua karena waktu lah yang
mendewasakan saya dengan segala prosesnya.
Saya membayangkan
jika saja saya lahir dan di besarkan di tangan kedua orangtua saya, mungkin
saya tidak akan seperti sekarang. Akan jauh lebih manja. Tak bisa apa-apa. Jauh
juga dari kata mandiri.
Dan akhirnya,
sekarang saya menikmati keadaan saya. Ini berkah. Harus di syukuri. Melakukan
yang masih bisa saya lakukan untuk kedua orang tua saya itu lebih bermanfaat
dari pada hanya mengurung diri didalam kesedihan, di dalam sebuah
ketidakterimaan dan semacamnya. Seperti yang saya lakukan sekarang, membagi
waktu saat pulang adalah salah satu caranya. Meskipun Cuma sebentar dirumah,
tapi selalu saya usahakan pulang ke tempat bapak dan ibu. Di luar itu, memang
saya netral. Tak mau berpihak pada ibu atau bapak. Karena semua orang tua saya.
Lastly, yakinlah
bahwa Tuhan itu baik. Sangat sangat sangat baik malah. Dia selalu menghadirkan
pelangi setelah badai besar. “Tunggu sebentar” begitu kata Nya. Ya, Dia tau
semuanya, sudah menyiapkan semuanya, kita hanya disuruh menunggu dan bersabar. Cheers
up…!!! J
Tunggu sebentar....
ReplyDeletekesempurnaan itu lahir dari ketidaksempurnaan mba....
yaa hanya tunggu sebentar saja....